Tulisan ini didedikasikan untuk Ibu Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, sebagai bahan pertimbangan dalam mengidentifikasi dan mengatasi problem sosial yang timbul di era digital.

Baru-baru ini, dalam upaya perlindungan anak-anak di ruang digital, Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Meutya Hafid, telah membentuk tim khusus yang fokus pada perlindungan anak di dunia maya.

Langkah ini merupakan respons positif terhadap tantangan digital yang semakin kompleks, dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem digital yang aman bagi generasi muda.

Inisiatif tersebut tidak hanya mempertegas pentingnya pengawasan konten digital, tetapi juga membuka ruang untuk dialog konstruktif dalam rangka menyusun kebijakan yang holistik dan inklusif.

Di tengah pesatnya transformasi digital yang mengguncang berbagai sektor kehidupan, kebijakan perlindungan anak di ruang digital menjadi isu krusial yang harus ditangani secara komprehensif.

Kebijakan yang berdampak pada jutaan anak Indonesia perlu didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial yang ada, serta didorong oleh pendekatan partisipatif dan inklusif.

Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa aspek sosiologis sebagai masukan konstruktif untuk pengembangan kebijakan, dengan harapan dapat membuka ruang dialog yang membangun.

Digitalisasi sebagai Arena Pertaruhan Nilai (Teori Konstruksi Sosial Berger & Luckmann)

Konsep “keamanan digital” tidak bersifat mutlak atau universal, melainkan merupakan hasil negosiasi nilai antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

Survei Katadata (2023) mengungkapkan perbedaan persepsi antara orang tua di Jawa—yang menganggap game online sebagai ancaman—dengan kekhawatiran di wilayah seperti Papua dan Maluku, di mana perhatian lebih kepada konten religi yang dianggap menyimpang.

Hal ini menunjukkan bahwa definisi risiko dalam ruang digital harus disusun dengan memperhatikan keberagaman budaya dan nilai lokal.

Sebagai masukan, pendekatan partisipatif seperti grounded theory dapat diterapkan untuk melibatkan masyarakat dalam merumuskan indikator risiko yang sesuai dengan konteks kultural masing-masing daerah.

Kesenjangan Digital sebagai Bentuk Ketimpangan Struktural (Teori Konflik Marxian)

Kesenjangan infrastruktur digital di Indonesia merupakan tantangan nyata yang menimbulkan dampak berbeda pada anak-anak di berbagai wilayah.

Data dari Speedtest Global Index (2023) menunjukkan perbedaan signifikan antara kecepatan internet di wilayah urban dan daerah dengan akses terbatas.

Ketimpangan ini tidak hanya mempengaruhi akses terhadap informasi, tetapi juga memperbesar kerentanan anak terhadap risiko seperti cyberbullying di perkotaan dan penipuan online di daerah terpencil.

Oleh karena itu, selain regulasi konten, pemerataan akses digital dan peningkatan literasi teknologi harus menjadi prioritas dalam kebijakan perlindungan anak.

Keluarga dalam Pusaran Digitalisasi (Teori Sistem Sosial Parsons & Latent Function Merton)

Transformasi digital telah mengubah dinamika dalam keluarga, di mana peran orang tua dalam mengawasi penggunaan teknologi oleh anak sering kali terkendala oleh ketidakmampuan mengikuti perkembangan teknologi yang cepat.

Studi dari Universitas Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hampir setengah dari orang tua merasa kurang mampu mendampingi anak di dunia digital.

Maka, strategi kebijakan yang hanya menekankan kontrol orang tua perlu dilengkapi dengan program digital parenting yang terintegrasi, seperti: Pelatihan Teknologi Intergenerasional: Meningkatkan pemahaman orang tua mengenai tren digital terkini sehingga mereka dapat lebih efektif dalam mendampingi anak.

Platform Komunikasi Keluarga Berbasis Lokal: Mengembangkan aplikasi dengan antarmuka bahasa daerah yang mendukung komunikasi dan pengawasan dengan lebih akrab.

Revitalisasi Peran Keluarga Besar: Mengajak peran serta anggota keluarga lain, seperti kakek nenek, untuk mendukung pengawasan dan pendampingan digital anak.

Aspek Tambahan sebagai Masukan

Kebijakan Selain tiga dimensi utama di atas, terdapat beberapa aspek lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan:

Digitalisasi Ritual Sosial

Teknologi telah mengubah cara masyarakat mengekspresikan tradisi dan ritual budaya. Misalnya, penyiaran langsung prosesi adat atau ritual keagamaan menunjukkan bahwa digitalisasi dapat memperkaya maupun menantang nilai-nilai kultural. Kebijakan perlindungan anak sebaiknya tidak mengabaikan nilai-nilai budaya ini, melainkan mengintegrasikannya agar regulasi tidak menciptakan disonansi antara praktik sosial dan aturan yang diterapkan.

Ekonomi Digital Anak

Fenomena konten kreator cilik yang semakin berkembang menunjukkan bahwa anak-anak juga merupakan aktor aktif dalam ekonomi digital. Berdasarkan teori structuration Giddens, perlindungan terhadap anak seharusnya seimbang antara pencegahan risiko dan pemberdayaan sebagai kreator konten. Regulasi yang bijak dapat mengatur aspek seperti jam kerja dan perlindungan finansial tanpa menghambat kreativitas dan partisipasi aktif anak di dunia digital.

Dimensi Spiritual dalam Digitalisasi

Dengan maraknya penyebaran konten ekstrem di dunia digital, seperti yang ditunjukkan oleh data PPIM (2022), perlindungan terhadap aspek spiritual anak juga menjadi penting.

Pendekatan konstruktif melalui kerja sama dengan komunitas agama dapat membantu menciptakan narasi positif yang melawan penyebaran konten yang tidak sesuai, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.

Dalam upaya membangun kebijakan perlindungan anak di ruang digital yang holistik dan responsif, diperlukan evaluasi mendalam terhadap berbagai dimensi sosial yang berperan.

Masukan yang disajikan di atas diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan regulasi yang tidak hanya berfokus pada pengendalian konten, tetapi juga mendukung pemerataan akses, peningkatan literasi digital, serta pemahaman kontekstual terhadap nilai dan budaya lokal.

Dedikasi ini ditujukan untuk Ibu Meutya Hafid, sebagai pionir dalam mengarahkan transformasi digital di Indonesia, agar kebijakan yang dihasilkan dapat menciptakan ekosistem digital yang aman, adil, dan mendukung perkembangan anak-anak Indonesia secara menyeluruh.

Penulis : Dr. Ibnu Hajar. M.I.Kom (Akademisi UIN Alauddin Makassar)

YouTube player