Oleh: Mursalim Nohong
(Pengamat Ekonomi Bisnis dan Guru Besar FEB Universitas Hasanuddin)

Dilema pembiayaan serius dialami kereta cepat Indonesia “Whoosh”. Total biaya proyek mencapai sekitar USD 7,27 miliar (±Rp 120 triliun), dengan kelebihan biaya (cost overrun) sekitar USD 1,2 miliar. Sebagian besar dibiayai pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan bunga tetap, sehingga tekanan pembayarannya tinggi di tengah pendapatan operasional KCIC yang belum stabil.

Sementara pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah menegaskan hutang Whoosh bukan tanggungan APBN, karena dikelola oleh PT KCIC, konsorsium BUMN dan mitra Tiongkok. Namun, risiko liabilitas bersyarat, dimana utang korporasi yang bisa berimbas ke negara bila gagal bayar, membuat beban fiskal tetap mengintai.

Kritik pun mengalir deras. Pun beberapa pejabat seolah “cuci tangan”. Dianggap sejak awal proyek ini tidak layak finansial. Namun pemerintah tetap ngotot mempertahankan sebagai simbol kemajuan transportasi nasional. Kini, dilema Whoosh menjadi ujian, antara prestise politik dan rasionalitas fiskal.

Dalam dunia bisnis, tidak ada yang bisa menghindari kemungkinan mengalami kesulitan finansial. Perusahaan bisa menghadapi penurunan pendapatan yang signifikan, kesulitan dalam mengelola arus kas, atau imbas dari krisis ekonomi yang lebih luas.

Ketika perusahaan tidak mampu membayar kewajiban hutangnya sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, kebangkrutan bisa menjadi ancaman yang nyata. Namun, untuk menghindari keadaan tersebut, banyak perusahaan yang memilih untuk melakukan restrukturisasi hutang sebagai solusi jangka pendek tapi strategis.

Restrukturisasi hutang merupakan proses dimana perusahaan bernegosiasi dengan kreditur untuk mengubah persyaratan hutang yang ada agar lebih mudah dikelola. Proses ini bertujuan untuk memberi kesempatan bagi perusahaan untuk memperbaiki posisi keuangannya tanpa harus berakhir dengan kebangkrutan.

YouTube player