SELALU ada juru selamat yang datang. Di mana saja. Juga di Lampung, provinsi ujung selatan Sumatera. Posisinya strategis. Jalur logistik tersibuk yang menghubungkan pulau Jawa.

Bagi petani singkong Lampung, juru selamat itu bernama Andi Amran Sulaiman. Anak Bugis dari selatan juga. Di pulau Sulawesi. Anda pun sudah tahu. Yang sekarang dipercaya Presiden Prabowo sebagai Menteri Pertanian.

Dipenghujung Januari 2025 lalu, Amran “memadamkan” bara api konflik petani dan pengusaha. Ribuan petani singkong berunjuk rasa di tiga pabrik tapioka yang ada di Tulangbawang, Lampung.

Demo dilakukan sebagai bentuk kekecewaan petani karena perusahaan menyerap singkong petani dengan harga rendah. Ada yang beli singkong di harga Rp 1.100 per kg dengan rafaksi 15-18%. Pabrik tapioka lainnya menetapkan harga Rp 1.300-Rp 1.400 per kg, tetapi rafaksinya di angka 35-38%.

Semula sudah dilakukan mediasi antara pemerintah setempat, DPRD, petani, dan pengusaha menyepakati harga singkong Rp 1.400 per kg pada 2025 ini. Namun dalam praktiknya, pabrik tapioka enggan membeli dengan patokan harga itu. Alasannya: rugi.

Gantian pengusaha yang unjuk rasa. Mereka menunjukkan protesnya dengan menutup pabrik dan tak mau beli singkong. Petani kelimpungan.

Sebab singkong ada batas usia tanamnya. Harus segera dipanen. Jadi, kalau tidak ada yang beli, singkong yang sudah dipanen terancam membusuk.

Mendapat informasi peristiwa tersebut, Mentan Amran merespon sigap. Ia turun gunung. Ia mengumpulkan pengusaha pelaku industri dan petani singkong Lampung yang berkonflik. Ia mengundang perwakilan kedua pihak ke kantornya di Jakarta.

Dalam proses mediasi, pengusaha bersikukuh beli dengan harga Rp 1.300 per kg. Petani ngotot minta jual di harga Rp.1.400. Tak ada titik temu soal harga. Deadlock. Belum ada solusi.

Amran diam sejenak. Raut wajahnya berubah seakan memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia teringat istilah anak-anak ”breaker” saat dirinya remaja era 80-an di kampungnya di Bone, pelosok Sulawesi Selatan.

Agar bisa berkomunikasi dalam frekuensi yang sama, masing-masing lawan kontak bicara harus kompromi: disana “turun satu” dan disini “naik satu”.

Setelah mendengar dan menganalisa keinginan kedua pihak, Amran menempuh “jalan tengah”. Ia kemudian memutuskan harga singkong dipatok Rp 1.350 per kg. Tok. Keputusan ini berlaku secara nasional mulai, Jumat (31/1/2025).

Sontak petani bersorak. “Turun Rp 50 tak mengapa yang penting bisa diserap,” teriak mereka. Pihak pengusaha juga menerima. Tapi mereka ajukan syarat tambahan: pemerintah harus menyetop impor tapioka. Saat itu juga Amran langsung mengontak koleganya Menteri Perdagangan Budi Santoso. “Mendag sudah setuju stop impor tapioka,” kata Amran.

Tak lupa Amran mengingatkan bahwa keputusan ini harus dijalankan oleh semua pihak, baik petani maupun industri. Jika ada industri yang melanggar kesepakatan maka dikenakan sanksi tegas.

“Kalau ada industri yang melarang harga ini, kami akan beri sanksi. Jangan main-main! Saya bapaknya petani dan industri singkong. Jangan ada yang melanggar komitmen. Industri harus untung, petani harus tersenyum,” ujarnya.

Negeri Singkong

Singkong boleh dibilang komoditas hajat hidup orang banyak di Lampung dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai salahsatu negara penghasil singkong terbesar di dunia.

Berlimpahnya produksi singkong di Nusantara, memicu kreativitas masyarakat untuk mengolahnya. Salah satunya menjadi kerupuk.

Dalam catatan Sejarah, singkong atau yang disebut juga sebagai ketela dikenalkan pertama kali oleh bangsa Portugis pada sekitar abad ke-15 dan 16. Meski umbi-umbian yang satu ini sejatinya berasal dari wilayah Amerka Selatan.

Melimpahnya produksi singkong pada dan pasca era cultuurstelsel (tanam paksa) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Pada era itu, setiap desa diwajibkan menyisihkan sebagian lahannya untuk ditanami komoditas yang dinilai menguntungkan seperti teh,kina,kopi, dan kakao.

Situasi ini membuat akses terhadap padi jadi terbatas. Pasalnya, sebagaian besar lahan digunakan untuk tanaman yang dinilai lebih cuan.

Tak ayal, masyarakat pun hanya bisa menanam singkong untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah Hindia Belanda sendiri telah mengimbau pribumi menanam singkong sebagai solusi dimasa paceklik.

Tak dinyana, poduksi singkong justru melimpah di era yang sama. Hal ini membuat kreativitas masyarakat diuji. Untuk mengolah hasil panen singkong yang berlimpah itu.

Surplus singkong kala itu direspons dengan pembangunan pabrik tapioka. Di pabrik ini, singkong disulap jadi tepung yang bisa diolah jadi berbagai pangan.

Jawa Barat (Jabar) kala itu menjadi salah satu wilayah penghasil singkong terbesar. Hal ini diperkuat dengan adanya jalur di Jabar yang dibangun karena adanya kebun singkong.

Kondisi yang sama dengan jalur kereta penghubung Semarang, Solo, dan Yogyakarta yang dibangun karena keberadaan kebun tebu.

Dari sana, beragam olahan dari tepung tapioka pun bermunculan, salah satunya kerupuk Aci yang fenomenal pada masa awal abad ke-20 seiring surplus tepung tapioka.

Balada Amran di negeri singkong ini, menurut saya ibarat petikan gitar, yang terus beresonansi dalam ruang publik yang kadang buta dan tuli.

Penulis : Rusman Madjulekka