PT BSP Diduga Lakukan Perambahan Lahan, Perwakilan Masyarakat Tani Sumber Rezeki Surati Kementrian ATR/BPN
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Kementrian ATR/BPN diharapkan menindak perusahan sawit yang diduga melanggar hukum dalam aktivitasnya. Utamanya perusahaan sawit yang diduga melakukan perambahan dan perusakan kawasan hutan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Lembaga Bantuan Hukum Mata Nusantara, Anekaria Safari mendatangi kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional terkait menindak lanjuti adanya dugaan perambahan lokasi tanah yang di lakukan oleh PT BSP.
Lembaga Bantuan Hukum Mata Nusantara, Anekaria, kedatangannya kekantor Kementrian ATR/BPN untuk mengirim Surat permohonan Audensi Kepada Direktur Jendral Penanganan Sengketa Dan Konflik Pertanahan Kementrian ATR / BPN untuk di evaluasi HGU PT Borneo Sawit Perdana. Safari sendiri merupakan kuasa hukum dari Ardiansyah dan Julkipli, pengurus Kelompok Tani Sumber Rezeki.
Surat yang ditujukan kepada Kementrian ATR/BPN itu, serta dilampirkan sejumlah bukti-bukti pendukung lainnya. Surat juga ditembuskan kepada Presiden Prabowo Subianto.
mengadukan perambahan atau mencaplok lahan milik masyarakat yang diduga dilakukan oleh PT BSP.
Pihaknya telah melakukan telaah terhadap koordinat lokasi Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Cempaka Mulia Timur seluas 655,95 hektar. Hasilnya, wilayah Kelompok Tani Sumber Rezeki berada di luar izin usaha perkebunan PT Borneo Sawit Perdana, dan merupakan kawasan hutan (hutan produksi).
“Kehadiran kami disini untuk menyampaikan atau meminta kepada Kementrian ATR/BPN untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Cempaka Mulia Timur seluas 655,95 hektar yang tanahnya saat ini dikuasai oleh PT BSP (Borneo Sawit Perdana),” ujarnya Safari, dalam keterangan persnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga menduga, legalitas PT Borneo Sawit Perdana berupa ILOK, IUP, PKH dan HGU, diduga bermasalah. Atas itu, ia menduga kemungkinan adanya pembiaran perambahan atau perusakan kawasan hutan serta dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, secara melawan hukum.
Atas perbuatan yang dilakukan oleh PT Borneo Sawit Perdana itu, kata Safari mengakibatkan kliennya kehilangan mata pencarian.
“Dan berdampak kepada masyarakat adat Indonesia telah menderita akibat kerugian signifikan sejak kehilangan hutan leluhur mereka yang subur karena perkebunan kelapa sawit PT Borneo Sawit Perdana,” tuturnya.
Perbuatan yang dilakukan PT Borneo Sawit Perdana, lanjut Safari juga berpotensi membuat kerugian besar yang dialami negara. Itu akibat dari kebijakan kawasan hutan yang belum terdefinisi dengan jelas, baik secara akademis maupun legalitas.
Ia mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, diamanatkan dua klaster tipologi mengenai penyelesaian perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Dalam pasal 110A disebutkan, bahwa perkebunan sawit yang telah terbangun, memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya undang-undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.
“Kemudian, perkebunan sawit yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan, tidak menyelesaikan persyaratan dalam jangka waktu hingga 2 November 2023, dikenai sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif dan/atau pencabutan perizinan perusahaan,” tuturnya.
Lalu dalam pasal 110B, disebutkan bahwa kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat yang dilakukan sebelum tanggal 2 November 2020, dikenai sanksi administratif. Ini berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif; dan/atau paksaan pemerintah.
“Bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh PT Borneo Sawit Perdana telah memenuhi perbuatan melawan hukum serta ketentuan pidana lainnya,” tandasnya.
“Kami membuat surat ke Jaksa Agung Bapak Sanitiar Burhanuddin bahwa berdasarkan pengaduan dari klien kami, yang menyatakan adanya dugaan penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dilakukan PT Borneo Sawit Perdana untuk perkebunan kelapa sawit di atas tanah masyarakat Kelompok Tani Sumber Rezeki seluas 655,95 hektar,” ujar Anekaria Safari, dari kantor Lembaga Bantuan Hukum Mata Nusantara, Jumat, 14 Februari 2025.
Surat yang ditujukan kepada Jaksa Agung itu, turut dilampirkan sejumlah bukti-bukti pendukung. Surat juga ditembuskan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Safari sendiri merupakan kuasa hukum dari Ardiansyah dan Julkipli, pengurus Kelompok Tani Sumber Rezeki.
“Dari persoalan itu, diduga ada perambahan atau perusakan kawasan hutan serta dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara melawan hukum,” imbuhnya.
Pihaknya telah melakukan telaah terhadap koordinat lokasi Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Cempaka Mulia Timur seluas 655,95 hektar. Hasilnya, wilayah Kelompok Tani Sumber Rezeki berada di luar izin usaha perkebunan PT Borneo Sawit Perdana, dan merupakan kawasan hutan (hutan produksi).
“Dugaan perambahan hutan untuk kebun sawit yang terbangun di luar izin usaha perkebunan yang dilakukan oleh PT Borneo Sawit Perdana seluas 4.428 hektar,” kata dia.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan