Direktur Jak TV Ditetapkan Tersangka, Konten Media Jadi Bukti Tanpa Pelibatan Dewan Pers
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Tian Bahtiar diberhentikan sebagai Direktur Pemberitaan Jak TV setelah Kejaksaan Agung menjeratnya dengan dugaan perintangan penyidikan. Sejumlah berita juga dijadikan sebagai alat bukti tanpa pelibatan Dewan Pers dalam penilaiannya.
“Kami harap semua pihak, termasuk Pak Tian, dalam penanganan kasus ini dapat bersikap kooperatif menjalani proses hukum yang sedang berjalan. Tentu kami pun mendoakan yang terbaik untuk yang bersangkutan,” kata Direktur Operasional Jak TV, Sony Soemarsono, Rabu (23/4/2025), mengutip Kompas.
Kejaksaan Agung menetapkan Tian sebagai tersangka karena dianggap menyudutkan institusinya dengan menggiring pendapat masyarakat menggunakan pemberitaan.
Tian diduga melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (obstruction of justice), sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun dalam Pasal 21 tersebut, definisi mencegah, merintangi, menghalang-halangi penyidikan dan penuntutan sama sekali tidak diatur oleh undang-undang. Ini menimbulkan masalah dalam penerapannya, tanpa batasan yang jelas. Ke depannya obstruction of justice juga akan diatur dalam Pasal 281 KUHP 2023 yang mulai berlaku pada Januari 2026. Namun, ketentuan tersebut masih mengandung permasalahan yang sama seperti sebelumnya.
Selain terdapat persoalan terkait definisi dan penerapan obstruction of justice, dalam praktiknya sangat penting untuk membedakan antara tindakan menghalangi proses penyidikan dengan bentuk-bentuk pelanggaran lain seperti praktik suap atau pelanggaran kode etik khususnya dalam konteks kerja jurnalistik.
“Penggunaan Pasal 21 UU Tipikor secara serampangan juga akan mengganggu kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat,” kata Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Erick Tanjung, Rabu (23/4/2025), mengutip Tempo.
Menurut Lembaga Bantuan Hukum Pers, penggunaan delik tersebut tidak tepat dan berpotensi menimbulkan praktik kriminalisasi terhadap jurnalis, perusahaan media, juga masyarakat sipil.
Erick, memandang hal ini sebagai bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
“(Tindakan aparat) menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media, serta kelompok masyarakat sipil lainnya,” kata Erick.
Erick, menjelaakan bahwa tidak seharusnya dilakukan penilaian tanpa melibatkan Dewan Pers. Pasalnya, lanjut dia, aparat penegak hukum tidak memiliki hubungan dengan pemberitaan media.
“Pengabaian atas mekanisme penilaian etik akan berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ekosistem kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers,” ucapnya.
Namun semua ini mendapat respons dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar.
“Dia mendapat uang atas nama pribadi, bukan sebagai Direktur Jak TV karena tidak ada kontrak tertulis dengan perusahaan,” kata Harli, Selasa (22/4/2025).

Tinggalkan Balasan