RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Penangkapan 40 orang terduga pelaku penipuan digital oleh Tim Khusus Gabungan Intelijen Kodam XIV Hasanuddin, 24 April 2025 lalu, kembali memunculkan kekhawatiran lama tentang kembalinya Dwi Fungsi militer.

LBH Makassar dengan tegas menolak keterlibatan TNI dalam urusan penegakan hukum terhadap warga sipil. Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, menyebut bahwa tindakan ini adalah bukti nyata penyimpangan wewenang.

“TNI tidak memiliki wewenang untuk terlibat dalam proses tersebut,” kata Abdul Azis.

Situasi ini memperparah kekhawatiran publik terhadap disahkannya Undang-Undang TNI No. 3 Tahun 2025. LBH Makassar mencatat bahwa TNI kini mulai aktif masuk ke ruang-ruang sipil—dari membubarkan diskusi mahasiswa, menggagalkan demonstrasi, hingga melakukan penangkapan terhadap sipil, sesuatu yang sepenuhnya menjadi ranah kepolisian.

“Masuknya TNI di ruang sipil tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap warga sipil, mengingat kultur dalam tubuh TNI yang terbiasa dengan instrumen kekerasan,” jelas Abdul Azis.

Jika pola ini terus terjadi, ia mengingatkan, Indonesia berpotensi mengalami normalisasi pelanggaran HAM seperti masa kelam sebelum era reformasi.

Dalam catatan sejarah, dominasi militer di ruang sipil telah berujung pada sejumlah tragedi besar: tragedi Tanjung Priok, Semanggi I dan II, pembunuhan Marsinah, hingga penghilangan paksa aktivis 1996–1998.

“Kesewenang-wenangan TNI dalam penegakan hukum menjadi bukti terhadap kembalinya dwifungsi militer,” ujar Abdul Azis.

LBH Makassar menyerukan agar tindakan ilegal ini dihentikan sebelum memperkokoh impunitas dalam tubuh militer, yang berpotensi mempersempit ruang demokrasi dan memperbesar pelanggaran hak-hak warga sipil.

Dwiki Luckianto Septiawan