Oleh : Mursalim Nohong
(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin)

Ditengah gelombang perubahan global yang melanda dunia, seperti perubahan iklim, transformasi digital, krisis energi, dan tekanan sosial ekonomi, muncul satu pertanyaan mendasar.

“Apakah akan menunggu masa depan terjadi ataukah ikut membentuknya?”

Tanya ini makin relevan saat kita bicara tentang daerah-daerah yang punya kekayaan alam dan kultural seperti kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan dan seringkali menjadi sumber keunggulan.

Sidrap tidak hanya dikenal karena sejarah dan keislamannya tetapi juga karena potensinya yang besar dalam sektor pertanian (bahkan menjadi lumbung pangan nasional), energi terbarukan, dan sumber daya manusia yang kuat.

Sidrap bukan hanya sekadar nama administratif. Ia adalah tanah warisan nilai, tanah perjuangan, dan simbol transformasi. Dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Sidrap tumbuh dengan identitas agraris yang kuat.

Beberapa dekade terakhir, Sidrap menunjukkan langkah progresif melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) terbesar di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa Sidrap tidak hanya menunggu perubahan, tetapi mulai merintis jalan sebagai pelaku dalam transformasi energi nasional.

Pembangunan infrastruktur besar ini belum cukup jika tidak dibarengi dengan pembangunan karakter manusianya. Tapi juga butuh inovasi berbasis kearifan lokal, dan pengelolaan sumber daya secara adil dan lestari.

Namun, ditengah potensi dan keunggulan tersebut, apakah Sidrap akan menjadi penonton dalam kancah perubahan atau mengambil peran dan menjadi aktor utama dalam membentuk masa depannya sendiri yang berkelanjutan?

Menunggu masa depan atau menyusunnya?

Dalam realitas pembangunan daerah, pemerintah dan masyarakat seringkali tampil dengan sikap menunggu. Menunggu instruksi dari pusat, menunggu bantuan dari luar, menunggu investor datang.