RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025 resmi dibuka pada Rabu (29/5/2025) di Benteng Rotterdam, Kota Makassar. Mengusung tema “Land and Hand”, festival sastra berskala internasional ini akan berlangsung selama empat hari hingga 1 Juni 2025.

Direktur MIWF 2025, M. Aan Mansyur, membuka secara langsung rangkaian acara dalam sesi aksi penampilan panggung bertajuk Under the Poetic Star.

Dalam sambutannya, Aan Mansyur menekankan pentingnya keberlanjutan festival sebagai ruang pertemuan yang inklusif dan terbuka bagi semua kalangan.

“Saya ingin mengulangi tentu saja banyak teman-teman di sini berulang-ulang ke MIWF, tentunya itu memberi rasa percaya diri kepada kami untuk terus melakukan sesuatu yang lebih baik. Tentunya ada beberapa catatan-catatan, dan semoga dari tahun ke tahun kita bersama-sama menciptakan festival yang inklusi,” ujarnya.

Tahun ini, inklusivitas dalam MIWF ditunjukkan dengan kehadiran tujuh juru bahasa isyarat (JBI) dalam sesi pembukaan. “Teman-teman disabilitas juga semakin hadir di festival. Kalau tahun lalu ada 14 JBI, kalau tahun ini ada 17 JBI untuk membuat teman-teman tuli bisa menikmati festival kita,” tambah Aan.

MIWF 2025 menghadirkan ratusan kegiatan literasi dan budaya yang menghadirkan narasumber kompeten dari berbagai bidang. Kegiatan-kegiatan tersebut dirancang untuk menjadi ruang pertemuan yang menghargai keberagaman, kesetaraan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

“MIWF ini menjunjung tinggi hak asasi manusia, anti korupsi, dan digerakkan 70 persen oleh perempuan. Kami pastikan tidak ada satu pun acara yang hanya didominasi oleh satu suara. Kami tidak membolehkan satu pun di festival ini pembicaranya hanya laki-laki,” tegas Aan.

Tema “Land and Hand” diangkat sebagai respons terhadap berbagai krisis kemanusiaan dan perampasan ruang hidup yang terjadi di berbagai wilayah dunia dan Indonesia. Aan menyinggung konflik di Palestina sebagai contoh nyata perampasan ruang hidup yang tidak hanya terjadi di satu tempat.

“Sampai sekarang Palestina tentu saja masih memperjuangkan ruang hidup mereka. Namun yang terjadi di Palestina bukan hanya terjadi di Palestina, juga terjadi di banyak sekali tempat,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti kasus-kasus lokal yang mencerminkan kondisi serupa. “Itu juga terjadi di teman-teman kita di Papua, di sekitar sini, teman-teman kita di Bara-Barayya sudah 8 tahun memperjuangkan haknya, di Pulau Lae-lae juga, di Polobangkeng, Tallo dan lain sebagainya terjadi perampasan ruang hidup. Saya kira kita tidak bisa tidak melakukan apa-apa, dan saya ingin festival ini menjadi bagian aktif untuk melawan dan mendukung solidaritas untuk melawan seluruh perampasan ruang hidup seperti itu,” tuturnya.

MIWF 2025 juga mencatat sejarah dengan menghadirkan komunitas Bissu dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seluruh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan berkumpul di tempat ini. Ada komunitas Bone, dari Segeri Pangkep, dan akan ada dari Soppeng, Wajo hadir di festival ini,” ujar Aan.

Menurutnya, komunitas Bissu juga mengalami bentuk-bentuk penyingkiran ruang hidup yang selama ini luput dari perhatian publik. “Apa yang mereka alami sebetulnya banyak sekali kisah-kisah penyingkiran ruang hidup mereka. Jadi kisah-kisah penyingkiran ruang hidup dari teman-teman ragam gender itu juga dialami. Saya ingin festival ini juga menjadi bagian untuk melawan semua perampasan ruang hidup seperti itu,” tegasnya.

MIWF 2025 turut melibatkan 300 relawan yang terpilih dari lebih 800 pendaftar. Para relawan telah menjalani persiapan intensif selama tiga bulan untuk menyusun dan mengikuti 34 kelas internal. Kelas-kelas tersebut dirancang secara mandiri oleh para relawan dan mencakup beragam topik, mulai dari pengorganisasian sipil, kesetaraan gender, perancangan festival nir-sampah, festival anti kekerasan, hingga keterampilan teknis seperti pengelolaan audio-visual.

“Selama 3 bulan persiapan festival, mereka merancang kelas sebanyak 34 kelas untuk mereka sendiri mempelajari banyak sekali hal, mulai dari pengorganisasian sipil, kesetaraan gender, merancang festival nir-sampah, merancang festival anti kekerasan, sampai urusan bagaimana menggulung kabel di videographer, dari hal yang sangat besar hingga sangat praktis mereka bikin kelasnya sendiri,” jelas Aan.

MIWF 2025 tak hanya menjadi perayaan sastra dan budaya, tetapi juga ruang solidaritas, keberagaman, dan perlawanan atas ketidakadilan. Dengan semangat kolektif dan keterlibatan masyarakat luas, festival ini berupaya menghadirkan perubahan sosial melalui kekuatan narasi dan keterlibatan komunitas. (*)