Oleh: Mursalim Nohong
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas).

Masih segar dalam ingatan kita.Pelantikan yang dilanjutkan retreat di Magelang terasa campur aduk oleh kepala daerah. Bahagia bercampur prihatin. Bahagia karena diamanahkan jadi punggawa di daerah. Disisi lain, prihatin karena disambut kebijakan efisiensi penggunaan anggaran oleh pemerintah pusat. Padahal mereka sudah terlanjur obral janji politik yang mesti ditunaikan.

Dorongan untuk memangkas anggaran, menyederhanakan birokrasi, serta mengefektifkan pelayanan publik telah menciptakan tekanan besar terutama bagi para kepala daerah. Ditengah tuntutan untuk tetap produktif dengan sumber daya yang terbatas, publik kini menanti satu hal penting dari para pemimpin daerah yakni kreativitas.

Dalam konteks ini, efisiensi yang tidak dibarengi kreativitas hanya akan menjadi pemotongan tanpa inovasi—dan pada akhirnya, memperburuk kualitas layanan dan menggerus kepercayaan publik. Implikasinya, saat ini masyarakat dipertontonkan aksi sejumlah kepala daerah yang dengan terpaksa hanya mengurusi masalah sampah dan saluran air. Tidak jarang manuver tersebut menjadi momentum pencitraan menuju 2030.

Puccio dkk (2011) melalui teorinya creative leadership theory menantang seorang pemimpin seperti kepala daerah untuk menunjukkan kemampuannya dalam menerobos permasalahan dengan inovasi, mengembangkan solusi baru, dan memfasilitasi lingkungan yang mendukung kreativitas dalam organisasi.

Teori ini menyatakan pemimpin kreatif bukan sekadar pengambil keputusan administrative.Tetapi seorang arsitek perubahan yang mampu merumuskan tantangan secara inovatif, merancang pendekatan baru, dan memfasilitasi budaya organisasi yang mendorong kreativitas. Dalam konteks efisiensi, pemimpin tidak cukup hanya mengelola pemotongan anggaran tetapi harus menemukan nilai baru di balik keterbatasan.

Efisiensi: Antara Keharusan dan Ketegangan

Kebijakan efisiensi, dalam banyak kasus, lahir dari niat baik serta memastikan setiap rupiah anggaran memberi dampak nyata. Namun dalam praktiknya, efisiensi kerap berujung pada pembekuan program strategis, pemangkasan honorarium tenaga kontrak, atau penghentian kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat.

YouTube player