Ditengah Kebijakan Efisiensi, Dinantikan Kreativitas Kepala Daerah
Beberapa daerah bahkan mengalami stagnasi inovasi karena ketakutan untuk “berkreasi” di tengah kebijakan ketat pengawasan anggaran dan audit. Padahal, tantangan pembangunan justru semakin kompleks seperti perubahan iklim, peningkatan tuntutan pelayanan, hingga disrupsi teknologi digital.
Efisiensi tanpa inovasi tidak akan menjawab kebutuhan zaman. Sebaliknya, kreativitas memungkinkan kepala daerah mencari solusi baru tanpa melanggar prinsip tata kelola yang baik. Dalam titik inilah, publik menaruh harapan agar kepala daerah tidak hanya menjadi pelaksana regulasi, tetapi juga penggerak solusi-solusi taktis dan inovatif.
Kreativitas Sebagai Modal Kepemimpinan Publik
Kreativitas dalam konteks kepemimpinan daerah bukan berarti improvisasi sembarangan. Kreativitas yang dimaksud adalah kemampuan melakukan terobosan berbasis kebutuhan, mengembangkan model pelayanan publik baru, serta memaksimalkan potensi lokal dengan pendekatan nonkonvensional. Kreativitas juga berarti membuka ruang kolaborasi lintas sektor—pemerintah, swasta, komunitas, akademisi—untuk mengatasi keterbatasan sumber daya.
Contoh konkret dapat ditemukan pada beberapa kepala daerah yang berhasil mengatasi keterbatasan anggaran dengan pendekatan inovatif. Misalnya, pemanfaatan sistem digital berbasis aplikasi untuk pelayanan publik, integrasi data lintas instansi untuk efisiensi pengambilan keputusan, hingga program ekonomi kreatif berbasis desa yang didukung oleh platform daring.
Semua itu lahir dari semangat berinovasi, bukan dari limpahan dana. Di sisi lain, kepala daerah yang pasif atau terlalu administratif cenderung gagal membangun narasi kepemimpinan. Mereka menjadi “penjaga status quo” yang hanya memastikan roda pemerintahan tetap berputar, namun tanpa arah yang jelas dan tanpa gebrakan nyata.
Tantangan Struktural dan Budaya
Meskipun kreativitas sangat dibutuhkan, kepala daerah juga berhadapan dengan sejumlah tantangan struktural. Salah satunya struktur birokrasi yang cenderung kaku dan prosedural, yang cenderung membatasi ruang inovasi. Belum lagi ketakutan terhadap kriminalisasi kebijakan di mana kepala daerah merasa serba salah dalam mengambil keputusan karena potensi interpretasi hukum yang berbeda-beda.

Tinggalkan Balasan