Pemerkosaan Massal 1998: Pernyataan Fadli Zon Picu Isak Tangis Legislator
RAKYAT NEWS, JAKARTA – Komisi X DPR mengundang Fadli Zon dalam rapat yang membahas RKA-K/L TA 2026 dan RKP K/L Tahun 2026 di ruang rapat Komisi X DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Pada sesi tanggapan anggota DPR, isu pemerkosaan massal 1998 menjadi salah satu topik pembahasan.
Fadli Zon mengemukakan pandangannya yang mempertanyakan penggunaan istilah ‘massal’ terkait tragedi tersebut. Namun, pendapatnya memicu emosional dan tangisan dari Anggota DPR selama rapat berlangsung.
Fadli Zon menyatakan bahwa dirinya telah membaca data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengenai kerusuhan 1998.
“Memang ada data dari TGPF, data ini saya punya dan saya sudah baca di tahun ’98 data TGPF ini dan saya punya bundelnya lebih lengkap dan cukup banyak, kita bisa berdebat kalau ada, kita harus kutuk dan kita harus kecam dan harus orang yang melakukan itu harus ada,” kata Fadli Zon.
Namun, Fadli Zon meminta agar narasi adu domba dari kekuatan asing yang ingin mem-framing situasi tersebut tidak dibawa ke dalam diskusi. Dia memberi contoh sebuah tulisan dari majalah Tempo yang menyebut adanya pemerkosaan massal dengan teriakan takbir.
“Ditulis di majalah Tempo ini kan mengadu domba, begitu juga mereka yang melakukan perkosaan massal itu berambut cepak arahnya ke militer. Kita tidak ingin ini menjadi narasi adu domba dan kita kemudian mengenyamnya ketelitian, pendokumentasian yang kokoh itu masalahnya,” jelasnya.
Fadli Zon mengakui bahwa pemerkosaan memang terjadi, tetapi menegaskan bahwa hal tersebut sulit diakui secara hukum karena tidak ada fakta dan pelaku yang jelas.
“Jadi kita tidak ingin narasi ketika itu, apalagi waktu itu itu juga dimuat di berbagai situs seolah-olah perkosaan massal, tapi foto-fotonya itu adalah foto-foto di Hong Kong, di Jepang, dan dari situs-situs,” jelasnya.
Dia juga menyoroti foto-foto yang ada di Far Eastern Economic Review yang menurutnya diambil dari situs-situs website dan bukan di Indonesia.
“Di sini bisa dibaca ini masih tahun ’98, pertama kali Tempo ini kan dulu dibredel baru ’98 terbit kembali, di sini ada jadi kemudian ada juga di Far Eastern Economic Review tentang foto-foto yang ketika itu diambil dari situs-situs website, jadi bukan di Indonesia, itu ditulis oleh Jeremy Wagstaff,” ujarnya.
“Jadi ada hal-hal yang menurut saya perlu pendokumentasian yang lebih teliti, supaya jangan sampai kita nanti menimbulkan satu hal yang memecah belah, ini sebenarnya yang kita harapkan,” tambah dia.
Mendengar pernyataan Fadli Zon, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, tak dapat menahan tangis dan mengungkapkan kekecewaannya karena menilai Fadli Zon tidak peka terhadap peristiwa tersebut.
“Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari, tetapi ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban perkosaan,” kata My Esti.
“Sehingga menurut saya penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” lanjut My Esti yang terlihat terisak.
Selain itu, anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP, Mercy Chriesty Barends, mendesak Fadli Zon untuk meminta maaf karena menyatakan secara publik bahwa pemerkosaan massal 1998 tidak ada bukti.
“Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf kali sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan. Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus. Manusiawi, minta maaf!” kata Mercy.

Tinggalkan Balasan