Temui Menkop, Apdesi Sulsel Desak Perbaikan Skema Kopdes Merah Putih
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Sulawesi Selatan, Andi Sri Rahayu Usmi, bersama Bupati Takalar, Firdaus Daeng Manye, bertolak ke Jakarta untuk bertemu langsung dengan Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, Kamis (10/7/2025) malam.
Dalam pertemuan tersebut, keduanya menyampaikan sejumlah masukan dan catatan kritis terkait pelaksanaan program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan.
“Bersama ini kami melaporkan hasil kegiatan lapangan untuk dijadikan masukan agar Asta Cita Bapak Presiden dapat terwujud dan hasilnya terukur,” ujar Sri Rahayu dalam pertemuan tersebut.
Salah satu sorotan utama adalah perlunya panduan teknis yang jelas dalam bentuk juknis untuk merumuskan arah dan program kerja Kopdes.
Menurut Sri Rahayu, “Membuat rumusan perencanaan program kerja kopdes dalam bentuk juknis sehingga terarah dan terukur.”
Ia juga mendorong agar keberadaan Kopdes Merah Putih dapat menjadi ruang kerja sama yang terbuka bagi seluruh kementerian. Harapannya, sinergi lintas sektor ini akan menciptakan pasar yang mendorong pertumbuhan usaha dan memberi dampak langsung pada kesejahteraan masyarakat desa.
“Kehadiran kopdes merah putih bisa menjadi ruang kerja sama di semua kementerian sesuai dengan arah dan pengembangan usaha agar lahir pasar yang bisa menjadi ruang untuk berkembang dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat,” ucapnya.
Namun demikian, Sri Rahayu mengingatkan bahwa program Kopdes jangan sampai menyingkirkan peran penting UMKM dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), terutama dalam menjaga ketahanan pangan desa.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan oleh pemerintah pusat agar tidak seluruh keputusan mutlak berada di tangan anggota koperasi, mengingat wadah KDMP adalah wadah koperasi yang dimediasi dan diorientasikan untuk kemandirian desa.
Terkait kepengurusan, ia menyoroti praktik rangkap jabatan antara pengurus dan pengawas yang menurutnya harus dihindari.
“Terkait pembentukan pengurus harus merujuk pada UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian sementara juknis dan edaran Menkop tidak boleh bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 terkait keanggotaan,” jelasnya.
Sri Rahayu juga menyoroti perlunya kejelasan dan legalitas lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pengawasan Kopdes. Ia menekankan bahwa lembaga tersebut harus berasal dari kementerian terkait agar penyampaian visi dan misi Kopdes tetap konsisten dengan Asta Cita dan juknis resmi.
“Lembaga yang hadir mensosialisasikan Kopdes baik berfungsi sebagai pengawasan maupun motivator adalah lembaga yang punya legalitas dari kementerian,” katanya.
Dalam hal pengawasan, ia mengusulkan adanya audit berkala setiap enam bulan sebagai ukuran perkembangan koperasi. Selain itu, lembaga pengawasan yang terlibat harus memiliki kekuatan hukum melalui izin resmi dari kementerian agar proses berjalan tanpa tekanan maupun ketakutan di lapangan.
Ia menambahkan, “Adanya kepastian bahwa akibat hukum yang terjadi di KDMP akan menjadi tanggung jawab pihak yang lalai dalam kewajiban.”
Aspirasi lainnya menyentuh soal mekanisme penyaluran kredit dan perlunya skema pembiayaan yang terukur.
“Kemudahan kredit yang diberikan aturan mengikat sehingga digunakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Sri Rahayu juga menekankan bahwa tanggung jawab pengembalian dana tidak semestinya dibebankan kepada pengurus maupun pemerintah desa apabila terjadi kredit macet.
Apdesi Sulsel menyampaikan keprihatinan atas rencana skema pendanaan yang menggunakan dana desa sebagai jaminan.
“Skema Kopdes Merah Putih melibatkan 20% pemotongan dana desa tahun pertama, dan 20% berikutnya dijadikan jaminan kredit ke bank negara. Ini sebenarnya melanggar UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,” tegasnya.
Menurut UU tersebut, dana desa diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur, kebutuhan dasar masyarakat, dan pemberdayaan melalui BUMDes, bukan untuk koperasi.
Sebagai penutup, ia meminta agar pendanaan Kopdes tidak sepenuhnya bergantung pada dana desa. Ia menekankan pentingnya menjaga amanat musyawarah desa (Musdes) yang harus tetap dijalankan.
“Kami memohon sekiranya bisa menjadi pertimbangan KDMP bukan dari dana desa, atau besaran dana desa ditingkatkan 2–3 miliar agar mampu mengakomodir hasil musyawarah desa dan KDMP,” ujarnya. (*)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan