RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Konferensi pers di LBH Makassar pada 26 Agustus 2025 mengungkap sisi lain represi aparat di Polongbangkeng, Takalar: tubuh perempuan petani menjadi sasaran utama kekerasan. Solidaritas Perempuan Angin Mammiri (SPAM) Sulsel mencatat sedikitnya sepuluh perempuan mengalami kekerasan fisik sejak 23 Agustus.

Mereka dipukul, ditarik, dijatuhkan ke tanah, bahkan ditinggalkan dalam trauma berkepanjangan. “Perempuan petani Polongbangkeng kini bukan hanya kehilangan tanahnya, tapi juga rasa aman. Tanah yang dulu menumbuhkan padi, jagung, sayur untuk keluarga kini direbut, memaksa mereka jadi buruh tanpa jaminan keselamatan kerja,” tegas Anggi dari SPAM. Selasa, 26 Agustus 2025

Kekerasan ini melukai lebih dari tubuh. Perempuan kini takut tidur di rumah sendiri, takut pintunya didobrak aparat tengah malam. Trauma 1998 kembali hidup, ketika intimidasi dan kriminalisasi petani juga terjadi.

Dg Ngenang, salah satu korban, menjadi simbol perlawanan sekaligus penderitaan. Teriakannya mempertahankan tanah leluhur dibalas dengan tarikan kasar dan tubuh yang lebam. Bagi perempuan petani, tanah bukan sekadar ruang produksi pangan, melainkan ruang hidup. Ketika tanah direbut, mereka kehilangan sumber pangan, kehilangan kemandirian, bahkan kehilangan rasa aman.

LBH Makassar menegaskan, kekerasan terhadap perempuan petani adalah pelanggaran HAM yang tidak bisa ditolerir. Negara bukan hanya gagal melindungi, tetapi ikut menjadi pelaku melalui aparat bersenjatanya.

Dwiki Luckianto Septiawan