Situasi serupa terjadi di Medan pada Selasa (26/8), ketika polisi menangkap 44 orang peserta aksi penolakan kenaikan tunjangan DPR. Sebanyak 42 orang telah dilepaskan, sementara dua lainnya diserahkan ke Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut.

Aksi protes juga berlangsung di Pontianak pada Rabu (27/8), yang menuntut pencabutan tunjangan DPR, peningkatan gaji guru dan dosen, hingga pengesahan RUU Perampasan Aset. Kericuhan pecah setelah aparat menembakkan gas air mata dan menangkap 14 orang, sebagian besar pelajar, dengan tuduhan pengrusakan serta kepemilikan senjata tajam.

Selain kerugian materiil, sejumlah aparat dan mahasiswa turut dilaporkan luka-luka akibat bentrokan di Pontianak. Amnesty menilai pola penanganan aparat yang berulang ini memperlihatkan kecenderungan represif yang dapat membungkam kebebasan berekspresi masyarakat.

Pada temajuk lain, di Kabupaten Bone Sulsel, aparat kepolisian dan TNI menangkap sejumlah demonstran yang memprotes kenaikan pajak hingga 300 persen di Kabupaten yang terletak di pesisir timur provinsi Sulsel tersebut. Selain penangkapan di Bone, juga terjadi represifme petugas yang terjadi kepada warga sipil di Kabupaten Barru dan Bantaeng terkait simbol “one piece”, khusus di Bantaeng, terjadi pemukulan oleh anggota TNI kepada masyarakat.

Hari ini (28/8), aksi serupa kembali terjadi dengan ribuan buruh turun ke jalan di Jakarta dan kota-kota lain. Tuntutan mereka meliputi penghapusan sistem outsourcing dan penolakan upah murah. Sementara itu, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) juga berencana menggelar aksi lanjutan pada Jumat (29/8).

Amnesty menutup seruannya dengan mendesak pemerintah dan DPR agar membuka ruang dialog dengan masyarakat. “Alih-alih menekan, dengarkanlah aspirasi rakyat. Itu jalan demokrasi yang seharusnya ditempuh,” ujar Usman.(Uki Ruknuddin)