Koalisi Desak Pengusutan Dugaan Keterlibatan TNI dalam Kerusuhan dan Intimidasi Sipil
JAKARTA, RAKYAT NEWS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras upaya kriminalisasi terhadap Ferry Irwandi, CEO Malaka Project dan pegiat media sosial, yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh sejumlah perwira tinggi TNI. Selain itu, Koalisi juga mengutuk aksi teror terhadap Direktur Imparsial, Ardi Manto, yang mengalami perusakan mobil, pencurian dokumen penting, dan serangan siber oleh pihak tak dikenal. Kedua kasus ini dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap pembela HAM dan upaya membungkam suara-suara kritis di ruang publik.
Kunjungan Komandan Pusat Polisi Militer, Kepala Pusat Penerangan, dan Komandan Satuan Siber TNI ke Polda Metro Jaya pada 8 September lalu dinilai sebagai langkah intimidatif yang menunjukkan kecenderungan militer menggunakan kekuatan negara untuk menekan kebebasan sipil. Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena memperlihatkan keterlibatan langsung institusi pertahanan dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi ranah kepolisian dan pengadilan.
Ferry Irwandi sebelumnya mengeluarkan pernyataan dalam sebuah program televisi pada 2 September, yang menyoroti potensi penggunaan teknologi dan jejak digital dalam mengungkap dalang kerusuhan di sejumlah kota. Namun pernyataan ini justru berujung pada ancaman pelaporan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ironisnya, hingga kini tidak ada penjelasan resmi mengenai unsur pidana dari pernyataan Ferry, sementara ia sendiri mengaku tak memahami bagian mana dari ucapannya yang dianggap melanggar hukum.
Koalisi menilai langkah TNI ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024, yang menegaskan bahwa lembaga negara tidak berhak menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP untuk menuntut warga sipil. Jika pelaporan ini diteruskan, maka akan menjadi bentuk pembangkangan konstitusi dan preseden buruk dalam penegakan hukum yang adil dan proporsional.
Selain itu, pelibatan TNI dalam perkara ini juga melanggar UU TNI No. 3 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa peran TNI dalam dunia siber hanya sebatas membantu pertahanan negara terhadap ancaman eksternal. Kehadiran Komandan Satuan Siber TNI dalam konteks pelaporan terhadap warga sipil dinilai sebagai penyimpangan dari mandat undang-undang dan indikasi pelanggaran terhadap batas peran militer dalam demokrasi.
Di sisi lain, kasus teror terhadap Ardi Manto memperkuat kekhawatiran akan makin menyempitnya ruang aman bagi pembela HAM di Indonesia. Ardi dikenal luas sebagai tokoh vokal yang menolak dominasi militer dalam sektor sipil dan secara terbuka mengkritik revisi UU TNI. Koalisi menyebut serangan terhadapnya sebagai tindakan teror yang sistematis dan diduga kuat berkaitan dengan aktivitas advokasinya.
Koalisi juga menuntut agar Polda Metro Jaya segera mengusut tuntas kasus perusakan dan peretasan terhadap Ardi secara transparan dan independen. Selain itu, mereka menyerukan pembebasan semua aktivis dan pembela HAM yang ditangkap terkait demonstrasi akhir Agustus, serta mendesak Komnas HAM, DPR, dan pemerintah untuk menyelidiki dugaan keterlibatan oknum TNI dalam kerusuhan yang terjadi.
Dalam pernyataan tegasnya, Koalisi menyatakan bahwa demokrasi akan terancam apabila militer terus melangkahi batas peran konstitusionalnya. TNI bukanlah alat kekuasaan untuk membungkam kritik, melainkan penjaga pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil dan hukum. Pelibatan militer dalam urusan domestik secara sepihak dinilai hanya akan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.
Koalisi yang terdiri dari puluhan organisasi seperti YLBHI, KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, dan lainnya, menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak diam. Mereka menegaskan bahwa upaya kriminalisasi dan teror terhadap pembela HAM adalah ancaman nyata terhadap kebebasan sipil, transparansi negara, serta kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.(Uki Ruknuddin)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan