Menurut Debby, kebijakan penurunan harga pupuk bersubsidi hingga 20 persen menjadi salah satu kebijakan paling dirasakan manfaatnya oleh petani. “Langkah ini membuat biaya produksi petani jauh lebih ringan. Petani sekarang bisa menanam lebih luas karena pupuk lebih terjangkau,” katanya.

Selain itu, kebijakan harga gabah minimal Rp6.500 per kilogram yang dijalankan pemerintah menjadi bukti nyata keberpihakan terhadap petani. “Harga gabah yang stabil di level Rp6.500/kg memberikan kepastian pendapatan bagi petani. Mereka tidak lagi was-was harga anjlok saat panen raya,” ujar Debby.

Menurutnya, kombinasi antara turunnya harga pupuk dan stabilnya harga gabah membuat semangat petani bangkit kembali. “Kebijakan seperti ini sangat nyata dampaknya. Bukan narasi atau janji, tapi terasa di sawah dan di dompet petani,” tambahnya.

Debby juga menilai wajar jika pegawai Kementan merasa tersinggung dan marah atas pemberitaan Tempo yang dianggap tidak menghargai jerih payah mereka.

“Pegawai Kementan bekerja 24 jam, 7 hari seminggu, memastikan program berjalan sampai ke lapangan. Penyuluh pertanian juga terus mendampingi petani tanpa lelah. Tapi kerja keras mereka seolah diabaikan, bahkan hasil beras petani digambarkan Tempo dengan diksi yang buruk, seperti ‘beras penuh kecoa’. Itu sangat melukai perasaan para petani dan ASN yang sudah berjuang,” ujar Debby.

Padahal, kata Debby, Presiden Prabowo Subianto sudah mendeklarasikan Indonesia swasembada beras di sidang PBB. Begitupun berbagai lembaga internasional seperti USDA dan FAO telah mengakui bahwa produksi beras Indonesia tahun ini berlimpah.

“Dunia internasional mengakui Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Ini capaian besar yang harusnya jadi kebanggaan nasional, bukan malah dijatuhkan dengan narasi negatif,” katanya.

Debby menegaskan, keberhasilan ini bukan semata hasil kebijakan, melainkan hasil kerja bersama antara pemerintah, penyuluh, dan petani di seluruh Indonesia.