“Arah pengembangan kawasan jelas berada dalam ekosistem bisnis Lippo, mulai dari sektor ritel, kesehatan, pendidikan, hingga pemukiman,” ujar Hasman.

Ia juga mengungkap bahwa dalam eksekusi lapangan pada 3 November 2025, muncul nama Indra Yuwana dari Lippo yang disebut memimpin langsung proses tersebut bersama Mayjen TNI Achmad Adipati Karna Widjaya, yang mengaku sebagai Staf Khusus KSAD.

Lebih lanjut, Hasman menyoroti peran pemerintah daerah yang meski memiliki saham di GMTD, namun dividen yang diterima sangat kecil.

“Pada RUPS tanggal 9 Januari 2024, Wali Kota Makassar saat itu, Dany Pomanto, menyatakan kehadiran GMTD tidak memberi dampak ekonomi signifikan bagi Pemda. Saham mereka bahkan terdelusi,” jelasnya.

Diketahui, dari investasi besar tersebut, Pemprov Sulsel hanya menerima dividen sekitar Rp58 juta untuk tahun 2022, meski memiliki porsi saham 13 persen. Selain itu, Pemda dan yayasan disebut tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan investasi sejak kerja sama dengan Lippo dimulai tiga dekade lalu.

“Dengan berbagai fakta tersebut, sudah cukup menjadi indikasi awal bagi penegak hukum, baik kejaksaan maupun KPK, untuk memeriksa kerja sama pemerintah dengan Lippo yang berpotensi merugikan keuangan negara sekaligus kepentingan publik,” tegas Hasman.

Ia menilai pernyataan James Riady merupakan bentuk pengalihan isu dan upaya menggiring opini publik seolah-olah GMTD dikuasai pemerintah daerah, padahal seluruh data dan fakta menunjukkan pengendalian berada di tangan Lippo Group.

BANTAHAN JAMES RIADY

Sebelumnya, CEO Lippo Group James Riady membantah keterlibatan perusahaannya dalam sengketa lahan 16,4 hektare yang memicu kemarahan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK).

“Tanah itu bukan punya Lippo. Jadi enggak ada kaitannya dengan Lippo. Jadi kita enggak ada komentar,” kata James kepada awak media di Gedung Wisma Mandiri 2, Jakarta, Senin (10/11). (*)