Namun modal tersebut tidak otomatis menjadi kekuatan politik substantif. Dalam studi kepartaian, aktor muda sering kali terjebak pada posisi representational token, yakni hadir sebagai simbol pembaruan tanpa kewenangan real dalam pengambilan keputusan. Tantangannya adalah bagaimana Nur Aliem mentransformasi modal intelektual dan sosialnya menjadi modal politik struktural yang berdampak.

3. BBHAR sebagai Arena Strategis: Dari Legal Advocacy Menuju Political Advocacy

Penunjukan Nur Aliem sebagai Ketua BBHAR membuka babak baru dalam trajektori politiknya. BBHAR, dalam struktur PDIP, bukan hanya organ teknis yang bekerja pada isu bantuan hukum, tetapi memiliki fungsi politis yang sangat strategis, yaitu:

  1. Mengartikulasikan keberpihakan partai terhadap kelompok rentan, suatu dimensi yang merupakan DNA ideologis PDIP sebagai partai kerakyatan.
  2. Menghadirkan advokasi hukum sebagai instrumen politik, bukan semata pelayanan sosial, tetapi juga pendekatan political embeddedness untuk memperkuat hubungan emosional dan elektoral dengan konstituen.
  3. Membentuk basis politik baru melalui isu-isu ketidakadilan struktural, yang sering kali menjadi ruang kosong dalam praktik politik lokal.

Posisi ketua BBHAR memberikan akses terhadap political capital yang signifikan: jejaring lembaga negara, relasi komunitas, dan ruang untuk mengonstruksi narasi politik alternatif mengenai PDIP yang lebih responsif dan progresif.

Secara politis, jabatan ini bisa menjadi panggung pembuktian kapasitas kepemimpinan Nur Aliem sekaligus arena untuk membangun otoritas moral di tengah kompetisi internal dan eksternal.

4. Politik Internal PDIP Sulsel: Negosiasi Kekuasaan, Senioritas, dan Resistensi Laten

Pemetaan politik internal PDIP Sulsel menunjukkan bahwa struktur partai masih kental dengan kultur hierarkis dan patronase. Penempatan kader muda dalam posisi strategis seperti BBHAR sering kali dibaca sebagai bagian dari:

  • Restrukturisasi faksional,
  • Strategi perimbangan kekuatan, atau
  • Upaya meredam dominasi kelompok tertentu.

Dengan demikian, posisi Nur Aliem Qalby tidak dapat dilepaskan dari dinamika kekuasaan internal ini. Ia akan menghadapi tiga tantangan utama:

  1. Legitimasi internal – apakah dirinya diterima sebagai pemimpin organ, bukan sekadar hasil keputusan struktural.
  2. Otoritas substantif – sejauh mana ia diberi ruang untuk menetapkan agenda advokasi yang independen dan progresif.
  3. Manajemen resistensi – kemampuan mengelola ketegangan kepentingan, baik dari senior maupun sesama kader muda.

Dalam konteks ini, jabatan ketua BBHAR bukan sekadar amanah, tetapi arena kontestasi kekuasaan yang menuntut kecermatan strategi dan kapasitas manajerial politik yang matang.

5. Prospek Kepemimpinan: Jalan Panjang Menuju Produksi Elite Baru

Dari perspektif teori political leadership formation, posisi ketua BBHAR dapat menjadi salah satu jalur pembentukan elite politik masa depan. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, Nur Aliem Qalby dapat membangun:

  • Kapital politik berbasis advokasi,
  • Kapital moral berbasis keberpihakan, dan
  • Kapital elektoral berbasis kehadiran nyata di ruang publik.

Kekuatan figur muda tidak terletak semata pada usia atau energi, tetapi pada kemampuan menghasilkan performa politik yang berbeda—lebih responsif, lebih antisipatif, dan lebih substantif. Dalam hal ini, keberhasilan Nur Aliem akan menjadi indikator apakah PDIP Sulsel sungguh-sungguh memberi ruang pembaruan atau hanya menggunakan generasi muda sebagai ornamen struktural.

6. Kesimpulan: Signifikansi Transformasi dan Taruhan Politik Masa Depan

Penunjukan Nur Aliem Qalby Alimuddin sebagai Ketua BBHAR PDIP Sulsel harus dibaca sebagai bagian dari upaya partai untuk memperluas basis legitimasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial-politik kontemporer. Namun secara politik, jabatan ini juga merupakan taruhan: apakah figur muda mampu mengartikulasikan perubahan nyata, atau tenggelam dalam kompleksitas politik internal.

YouTube player