SEMARANG, RAKYAT NEWS – Penangkapan dua aktivis HAM dan lingkungan, Adetya Pramandira dan Fathul Munif, di Semarang pada Kamis (27/11), memicu gelombang kritik dari Amnesty International Indonesia. Organisasi tersebut menilai tindakan aparat sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip reformasi kepolisian yang selama ini dijanjikan pemerintah.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa penangkapan tersebut menunjukkan mundurnya komitmen negara dalam menjamin kebebasan sipil. Ia menyebut narasi percepatan reformasi Polri sebagai “isapan jempol belaka,” terutama ketika kriminalisasi aktivis kembali terjadi pasca demonstrasi besar pada Agustus 2025.

Menurut Usman, penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE dan KUHP baru memperlihatkan betapa rentannya warga—khususnya aktivis—terhadap penindakan tanpa prosedur yang transparan. Ia menilai penangkapan Adetya dan Munif menjadi bukti nyata bahwa aparat masih memanfaatkan celah hukum untuk menargetkan kelompok yang bersuara kritis.

Kedua aktivis itu dituduh melakukan penghasutan terkait aksi Agustus 2025. Mereka dijerat Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45A ayat 2 UU ITE serta Pasal 160 KUHP. Namun Amnesty menilai tuduhan tersebut tidak berdasar, terlebih keduanya tidak pernah dipanggil sebagai saksi sebelum disergap 24 polisi pada pukul 06.45 WIB di Semarang.

Amnesty juga membeberkan informasi bahwa pada hari yang sama, Adetya baru tiba dari Jakarta setelah mendampingi warga melaporkan dugaan kriminalisasi ke sejumlah lembaga negara. Setelah bertemu Munif di kantor WALHI Jawa Tengah, keduanya meninggalkan lokasi pada dini hari sebelum akhirnya ditangkap tanpa bukti relevan dan tanpa prosedur hukum yang sah.

Melihat pola penindakan yang berulang, Amnesty mendesak Kapolri, Kapolda Jawa Tengah, dan Kapolrestabes Semarang untuk segera membebaskan kedua aktivis tersebut serta menghentikan seluruh proses hukum. Organisasi ini juga meminta pemerintah untuk membebaskan seluruh aktivis lain yang ditahan pasca demonstrasi Agustus 2025 hanya karena menyuarakan pendapat secara damai.

Selain itu, Amnesty menilai negara semestinya melakukan evaluasi serius terhadap penanganan demonstrasi, termasuk mengusut penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Mereka menyoroti kasus kematian Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis serta 11 korban lain yang tewas dalam aksi Agustus, yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan hukum.

Amnesty juga mendorong Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman RI untuk terlibat aktif dalam mendorong penghentian proses hukum terhadap Adetya, Munif, dan 12 aktivis lainnya yang ditangkap sejak akhir Agustus. Keterlibatan lembaga-lembaga independen ini dinilai penting untuk memastikan akuntabilitas aparat.

Di sisi lain, Amnesty kembali menuntut pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap tuntas kematian 12 warga dalam demonstrasi Agustus. Mereka menegaskan bahwa kepolisian harus membuka seluruh informasi terkait investigasi tersebut, dan negara wajib memastikan adanya proses pidana yang adil terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab.(Uki Ruknuddin)

YouTube player