RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Kasus sengketa lahan antara PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar kembali memanas.

Kedua perusahaan tersebut kali ini akan saling berhadapan dalam proses perdata di Pengadilan Negeri (PN) Tata Usaha Makassar hingga proses pidana pada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan.

Perlu diketahui sebelumnya jika pihak GMTD mengajukan gugatan perdata atas kasus kepemilikan lahan ke PN Makassar pada tanggal 26 November 2025 lalu.

Tidak sampai di situ, GMTD juga diketahui telah melapor ke Polda Sulsel atas kasus dugaan pencaplokan lahan.

Menanggapi sejumlah laporan tersebut, Chief Legal & Sustainability Officer Kalla, Subhan Djaya Mappaturung, mengaku menerima dukungan oleh konsultan hukum Hendropriyono, yang dimana diketahui selama ini konsen dalam menghadapi kasus mafia tanah.

“Hari ini kami merespons baik laporan pidana itu maupun gugatan perdata dengan memperkenalkan secara resmi kuasa hukum PT Hadji Kalla, yakni dari Hendropriyono, yang akan mendampingi kami dalam proses hukum tersebut, baik pidana maupun perdata,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di Loby Wisma Kalla, Kamis (4/12/2025).

Kuasa Hukum PT Hadji Kalla Siap Hadapi Gugatan GMTD

Kuasa Hukum PT Hadji Kalla, Muhammad Ardiansyah Harahap, menyatakan kesiapan menghadapi gugatan GMTD yang telah didaftarkan pada 25 November 2025 dan dijadwalkan sidang perdana pada 9 Desember 2025.

“Dalam hal ini, posisi kami adalah GMTD menawar, kami membeli,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa kepemilikan saham GMTD tidak hanya dikuasai oleh PT Makassar Permata Sulawesi yang terafiliasi Lippo Group, tetapi juga oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (13,5 persen), Pemerintah Kota Makassar (6,5 persen), Pemerintah Kabupaten Gowa (6,5 persen), Yayasan Pembangunan Sulawesi Selatan (6,5 persen), serta masyarakat.

Namun, menurutnya, pemegang saham non-Lippo tidak pernah menyetujui gugatan GMTD. Ia juga mempersoalkan pernyataan James Riyadi yang menyebut GMTD adalah milik pemerintah daerah.

Ardiansyah menyatakan pihaknya menemukan indikasi keterlibatan Lippo Group melalui PT Makassar Permata Sulawesi dan dugaan penyembunyian kepemilikan melalui struktur perusahaan berlapis.

Ia menilai gugatan GMTD hanya untuk membangun kesan bahwa lahan itu adalah milik perusahaan tersebut.

“Padahal, kalau kita tarik secara historis kepemilikan lahan tersebut bahwa PT Hadji Kalla secara jelas dan terang merupakan pemegang hak yang sah berdasarkan SHGB yang terbit pada tahun 1996,” tegasnya.

Ardiansyah juga menyatakan PT Hadji Kalla memiliki penguasaan fisik nyata sejak 1993, termasuk pembayaran upah penjaga lahan, pemasangan pagar dan papan nama bicara tahun 2010, serta pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara konsisten.

“GMTD tidak pernah memberikan bukti penguasaan fisik, apalagi membayar PBB sebagai bukti pemanfaatan tanah,” lanjutnya.

Ia juga menyebut terdapat dugaan rekayasa hukum dalam perkara sengketa tanah sebelumnya.

“Ini sebagai gambaran bahwa bagaimana mirisnya mafia hukum di bidang pertanahan itu bermain,” ujarnya.

Kuasa Hukum Kalla Siap Tempuh Jalur Pidana

Kuasa Hukum PT Hadji Kalla lainnya, Hasan Usman, mengaku telah mengantongi bukti atas kepemilikan lahan tersebut.

“Berkaitan dengan bukti-bukti tentu ada. Hanya mungkin dalam proses persidangan nanti kita akan buktikan di situ,” ujarnya.

Hasan menyatakan pihaknya juga akan membawa perkara ini ke ranah pidana dengan melaporkan dugaan pemalsuan dokumen ke Polda Sulsel.

“Karena kita duga adanya proses pemalsuan terhadap data-data yang mereka miliki,” tegasnya.

Ia optimistis BPN Makassar sebagai turut tergugat akan mempertahankan sertifikat yang dikeluarkan kepada PT Hadji Kalla.

Dokumen Kepemilikan PT Hadji Kalla

Ardiansyah menegaskan bahwa lahan seluas 164.151 meter persegi yang dipersoalkan merupakan aset sah milik perusahaan berdasarkan empat Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) serta akta pengalihan hak yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar pada 1996 dan 2008.

Ia menyebut perusahaan telah menguasai secara faktual lahan tersebut sejak 1993 dan memiliki hak hukum hingga 2036.

PT Hadji Kalla menyebut memiliki empat SHGB yang diterbitkan BPN Makassar pada 1996, yaitu:

  1. HGB No. 695/Maccini Sombala, Surat Ukur 4 November 1993, luas 41.521 m²
  2. HGB No. 696/Maccini Sombala, Surat Ukur 4 November 1993, luas 38.549 m²
  3. HGB No. 697/Maccini Sombala, Surat Ukur 4 November 1993, luas 14.565 m²
  4. HGB No. 698/Maccini Sombala, Surat Ukur 4 November 1993, luas 40.290 m²

Selain itu, PT Hadji Kalla mengantongi Akta Pengalihan Hak Tanah No. 37 tanggal 10 Maret 2008 seluas 29.199 m², sehingga total keseluruhan mencapai 164.151 m².

Ardiansyah kemudian menegaskan jika kliennya telah menguasai lahan sejak 20 November 1993 secara berkelanjutan.

GMTD Tegaskan Memiliki Mandat Negara

Sebelumnya, Presiden Direktur PT GMTD Tbk, Ali Said, menyatakan bahwa landasan hukum pengelolaan kawasan Tanjung Bunga telah diatur melalui empat dokumen negara:

  1. SK Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, 8 Juli 1991
  2. SK Gubernur Sulsel, 5 November 1991
  3. SK Penegasan Gubernur, 6 Januari 1995
  4. SK Penegasan dan Larangan Mutasi Tanah, 7 Januari 1995

“Ini bukan interpretasi perusahaan atau opini, tetapi keputusan negara,” ujarnya.

Ali Said menegaskan kawasan Tanjung Bunga sejak awal merupakan proyek strategis pemerintah untuk membuka akses wisata terpadu Makassar–Gowa dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. (Farez)