Menjaga Denyut Budaya Betawi di Jantung Kota Jakarta
Oleh: Febi Ramadhani Rusdin
(Dosen Program Studi Sains Komunikasi MNC University/Ketua Tim Pelaksana Hibah PISN)
Jakarta selalu bergerak. Di antara gedung-gedung yang menjulang dan arus manusia yang bergegas mengejar waktu, kota ini seperti mesin raksasa yang tak pernah istirahat. Namun, di sela-sela hiruk pikuk itu, ada denyut kultural yang tak boleh padam: budaya Betawi. Ia adalah
napas yang memberi warna, identitas, dan kehangatan pada lanskap metropolitan.
Kelurahan Karet Kuningan, yang berada di tengah episentrum bisnis Jakarta, adalah panggung kecil tempat pergulatan identitas ini berlangsung. Di antara kafe-kafe modern dan gedung-gedung kaca, kampung-kampung kecil Betawi masih berusaha tegak, memeluk warisan
leluhur yang kian ditekan oleh modernitas.
Karet Kuningan ibarat simpul antara masa lalu dan masa depan. Di pagi hari, denting gelasrapat korporasi di gedung-gedung perkantoran bergema, tapi di gang-gang kecilnya, kita masih bisa menjumpai suara gambang kromong atau gelak tawa anak-anak yang bermain dengan
logat Betawi yang khas. Realitas semacam ini menjadikan Karet Kuningan miniatur pergulatan budaya Jakarta.
Dalam ruang sosial yang sesak oleh kompetisi ekonomi, budaya sering kali terdorong ke pinggir. Inilah risiko kota global: ia mudah kagum pada cahaya neon, tetapi abai pada suluh tradisi. Karena itu, menghidupkan kembali denyut budaya Betawi bukan sekadar nostalgia
melainkan strategi mempertahankan karakter kota.
Kesadaran inilah yang direspons oleh Program Inovasi Seni Nusantara (PISN), sebuah program yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Program ini berupaya menjadikan seni tradisi bukan sekadar pajangan, melainkan sumber inspirasi, pengetahuan, dan inovasi kebudayaan.
Melalui PISN, Tim Peneliti MNC University turun langsung ke Karet Kuningan. Kami tidak datang sebagai penonton, tetapi sebagai kolaborator. Kami menyelami kehidupan masyarakat, mendokumentasikan praktik budaya, dan membuka ruang dialog antara warga, seniman lokal, dan dunia akademis.
Kolaborasi ini penting. Dalam tradisi Betawi, seni bukanlah komoditas; ia adalah nadi kehidupan. Seni dan budaya Betawi, tarian maupun kuliner, semua menyimpan cerita tentang kebersamaan dan identitas kolektif. Ketika tradisi ini dikembangkan melalui riset, dokumentasi,
dan inovasi kreatif tentunya akan mendapat ruang hidup baru.
PISN memberi kesempatan kepada para pemuda di Karet Kuningan untuk terlibat langsung. Mereka dilibatkan dalam pelatihan seni, program kreatif, dan kegiatan rekayasa budaya. Ini penting, karena regenerasi adalah persoalan paling mendesak dalam pelestarian budaya
Betawi. Tanpa penerus, tradisi hanya akan menjadi catatan kaki sejarah.
Kehadiran tim peneliti bukan untuk menggurui, melainkan memfasilitasi. Kami membantu merumuskan cara baru memperkenalkan budaya Betawi kepada generasi Z, generasi yang hidup dalam dunia digital. Dengan pendekatan multimedia film pendek, dokumentasi kreatif,
hingga konten media sosial, budaya Betawi diperkenalkan kembali lewat kanal yang relevan bagi anak muda.
Pendekatan ini sejalan dengan gagasan bahwa pelestarian budaya harus dilakukan di ruang hidup nyata. Tradisi tak bisa hanya dipamerkan di festival tahunan. Ia harus hadir sehari-hari di panggung kecil kampung, di warung kopi, di media sosial, di ruang kelas, dan di interaksi
warga.
Di Karet Kuningan, kegiatan PISN membuka ruang temu antargenerasi. Para tokoh masyarakat berbagi pengetahuan lisan, sementara anak-anak muda melakukan interpretasi kreatif. Ketika generasi tua dan muda berdialog, lahirlah inovasi yang tetap berakar pada tradisi.
Program ini juga mendorong seni Betawi menjadi katalis ekonomi kreatif lokal.
Seniman mendapatkan ruang untuk tampil, pengrajin memperoleh kesempatan memasarkan produk, dan masyarakat melihat nilai ekonomi dari pelestarian budaya. Dalam konteks urban seperti Karet Kuningan, strategi ini menjadi jembatan antara tradisi dan keberlanjutan.
Namun, tantangan tetap besar. Ruang fisik untuk aktivitas budaya semakin terbatas.
Kampung-kampung Betawi terhimpit oleh pembangunan. Generasi muda lebih akrab dengan budaya global dibanding tradisi lokal. Karena itu, intervensi kebudayaan harus dilakukan secara konsisten, bukan musiman.
Dalam kondisi seperti ini, PISN hadir sebagai model kolaborasi baru yang memadukan riset, inovasi, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan cara ini, pelestarian budaya tidak hanya menjadi agenda romantik, tetapi juga kontribusi nyata bagi pembangunan kota.
Karet Kuningan menjadi laboratorium hidup, tempat di mana nilai-nilai Betawi diuji dalam dinamika kota modern. Ia bukan museum, tetapi ruang hidup yang terus bergerak. PISN mengajak kita menyaksikan bahwa tradisi dapat hidup berdampingan dengan gedung-gedung
kaca tanpa kehilangan maknanya.
Pelestarian budaya selalu membutuhkan empati. Tanpa kemampuan melihat nilai dalam sesuatu yang dianggap “biasa”, kita akan kehilangan akar. Dalam hal ini, PISN mengingatkan bahwa budaya Betawi bukan hanya milik orang Betawi; ia adalah identitas Jakarta yang harus dijaga bersama.
Jika budaya adalah denyut kota, maka Karet Kuningan adalah nadinya. Menjaga seni Betawi di sini sama artinya dengan menjaga karakter Jakarta. Kota tanpa identitas hanyalah kumpulan beton; kota dengan budaya adalah rumah bagi warganya.
Tentu saja, pelestarian budaya tidak harus menghalangi kemajuan. Justru, budaya dapat menjadi landasan inovasi sosial. Seni tradisi yang diberdayakan dapat menjadi inspirasi industri








Tinggalkan Balasan