RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Psikolog Dr. Tri Iswardani Sadatun menilai individu yang mengalami trauma berkepanjangan berisiko tinggi terjerumus dalam penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (Napza). Kondisi tersebut kerap dipicu oleh upaya individu mencari pelarian atau pengobatan diri (self-medication) atas ketidaknyamanan psikologis yang dialami.

Hal itu disampaikan Dr. Tri Iswardani dalam diskusi Tritarasa bertajuk “In House Training: From Wounds to Wellness, Implementing Trauma-Informed Care” yang digelar di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (13/12/2025).

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami trauma cenderung mencari cara instan untuk meredakan rasa tidak nyaman yang terus muncul. Kondisi ini, menurutnya, menjadi pintu masuk terhadap perilaku berisiko, termasuk penyalahgunaan zat.

“Sehingga rasa trauma terus-terusan, begitu merasa gak enak gampang banget larinya (self-medication) ke drugs atau ke lain,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya memahami akar persoalan trauma yang dialami seseorang sebelum memberikan penanganan lebih lanjut. Pendekatan ini, kata dia, dimulai dengan pertanyaan mendasar terkait pengalaman traumatik individu.

“What happened (Apa yang terjadi)?” imbuhnya.

Dalam paparannya, Dr. Tri Iswardani menguraikan sejumlah terminologi trauma yang kerap dialami individu, mulai dari acute trauma, chronic trauma, hingga complex trauma. Menurutnya, acute trauma biasanya disebabkan oleh peristiwa tunggal seperti kecelakaan kendaraan, perampokan, atau ancaman kekerasan.

“Penyebab acute trauma itu kecelakaan kendaraan, dirampok, ditodong. Nah kalau complex, chronic biasanya dialami sejak kecil,” terangnya.

Ia menambahkan, jika seseorang diketahui mengalami trauma sejak masa kanak-kanak, maka perlu dilakukan penelusuran lebih mendalam terhadap riwayat kehidupannya untuk memahami rangkaian pengalaman yang membentuk kondisi psikologis tersebut.

“Jadi apa aja yang dialaminya?” ujarnya.

Karena itu, Dr. Tri Iswardani menilai kehadiran figur yang mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan dapat dipercaya sangat penting bagi individu dengan complex trauma. Lingkungan yang suportif dinilai berperan besar dalam proses pemulihan dan pencegahan perilaku adiktif.

Diskusi Tritarasa ini dimulai sejak pukul 09.30 WIB dan diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang, antara lain konselor, pekerja rehabilitasi Napza, serta tenaga medis rumah sakit.

Kegiatan berlangsung selama dua hari, 13–14 Desember 2025, dan diselenggarakan oleh Yayasan Tritarasa di Jakarta Pusat.

Yayasan Tritarasa memiliki visi tidak hanya membantu individu lepas dari ketergantungan Napza, tetapi juga menciptakan masyarakat yang bernilai, kreatif, dan berkualitas. Adapun misinya meliputi pemberian layanan di bidang kesehatan, sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum.

Melalui kegiatan ini, diharapkan pemahaman mengenai pendekatan trauma-informed care semakin menguat, sehingga upaya pencegahan penyalahgunaan Napza dapat dilakukan secara lebih komprehensif, berkelanjutan, dan berorientasi pada pemulihan menyeluruh individu. (Dirham)