MAKASSAR, RAKYAT NEWS Salah satu rangkaian kegiatan Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) adalah Pameran Manoeskrip Sadjak Sapardi Djoko Damono 1958-1969, yang digelar di Rumata’ Artspace Jalan Bontonompo Nomor 12 Makassar, Selasa (16/5/2017).

Suasana pembukaan manuskrip sajak Sapardi Djoko Damono

Dalam kegiatan tersebut, peserta dapat melihat langsung manuskrip tulisan Sapardi Djoko Damono mulai dari tahun 1958-1969. Lily Yulianti Farid yang menjabat sebagai Direktur MIWF mengatakan, ide kegiatan ini berawal ketika Sapardi Djoko Damono meluncurkan 7 buku untuk memperingati usianya yang ke 77 bulan Maret tahun ini.

“Ketika Sapardi Djoko Damono memperingati usianya yang ke 77 dengan meluncurkan 7 buku bulan Maret tahun ini, sempat terbersit keinginan untuk merayakannya dimakassar, meskipun belum terbayang perayaan apa yang bisa kami lakukan. Hingga akhirnya di suatu pertemuan di bulan April di Jakarta, kami membahas berbagai hal seputar persiapan festival ini. Sapardi spontan menyebut koleksi manuskrip tulisannya dan ide untuk memamerkan koleksi ini” ungkapnya.

Lebih lanjut, Lily mengatakan, kegiatan ini merupakan hal yang sangat spesial karena usia Sapardi yang ke 77 juga usia MIWF yang ke 7. Dan yang paling istimewa adalah dengan kegiatan ini masyarakat Makassar menjadi yang pertama yang dapat melihat tulisan tangan Sapardi.

“Kami pun bersemangat untuk mempersiapkan pameran ini digelar di galeri Rumata’ sebagai rangkaian dari MIWF. Meski pun waktu yang hanya satu bulan lebih, kami memanfaatkan betul dengan sebaik mungkin mewujudkan pameran ini. Masyarakat Makassar beruntung menjadi yang pertama yang dapat menyaksikan manuskrip tulisan tangan Sapardi periode 1958-1969.

Sapardi yang turut langsung hadir dalam kegiatan tersebut, dalam sambutannya mengatakan sangat bahagia bisa hadir dalam kegiatan MIWF tahun ini. “Saya sangat bahagia bisa hadir pada festival MIWF, saya melihat antusiasme yang hadir MIWF menjadi rumah kedua saya.”

Sapardi menambahkan bahwa, kegiatan ini bukan sekedar melihat dan memamerkan tulisan tangannya, tapi lebih dari itu bagaimana penyelenggara mampu menjadi manuskrip ini sebagai tontonan yang menarik. “Sebenarnya bukan puisinya, tapi bagaimana mbak indah cahaya bulan itu mengatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tontonan yang luar biasa,” ungkapnya. (Kusuma Widodo/Rakyat News)

Baca juga: MIWF 2017, Seakan Kembali Ke Tempo Dulu

Makassar Internasional Writers Festival Kembali Digelar, Ini Isu Yang Diangkat