MAKASSAR – Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Fahri Bachmid, menilai wacana punundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang diusulkan oleh beberapa Partai Politik (Parpol) terdapat kepentingan sekelompok pejabat petinggi negara, Kamis (3/3/2022).
Baca juga : Wacana Penundaan Pemilu, Prof Denny: Pelecehan Konstitusi
Saat berkunjung dikantor rakyat.news.Fahri mengatakan, terkait wacana penundaan Pemilu 2024 ada dua metode yang perlu ditempuh dalam menganalisis persoalan ini.
“Masalah ini harus dilihat dari dua objek analisis, yang pertama berangkat dari isu hukum dan yang kedua berangkat dari isu politik, isu politik ada pada pembawa atau karir, kebetulan isu ini disampaikan adalah politisi. Politisi dimanapun mempunyai target-target, punya aspirasi, pasti punya kepentingan,” ucapnya
Ia menambahkan, secara politik sebenarnya tidak lepas dari kepentigan prakmatis, dengan melakukan penundaan Pemilu tentunya seluruh lembaga-lembaga negara mengalami perpanjangan secara otomatis.
“Karena dengan logika perpanjangan itu berarti semua berimplikasi jabatan-jabatan publik yang diisi dengan melalui general election (pemilihan secara umum) itu menjadi diperpanjang secara otomatis,” tuturnya.
Lanjutnya, kalaupun wacana itu di sandingkan dengan masalah ekonomi, utang negara yang masih menumpuk, inflasi Rusia ke Ukraina atau masyarakat masih menyukai Joko Widodo sebagai presiden, dengan beberapa variabel tersebut. Alasan itu tidak tepat dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan penundaan Pemilu 2024.
“Secara hukum pertanyaan hipotesisnya adalah memungkinkan tidak, isu itu diakomodasi dalam satu kebijakan negara untuk pemilihan ini ditunda. Berdasarkan kajian konstitusi sama sekali tidak ada, karena UUD 1945 itu sudah membatasi bahwa sirkulasi kepemimpinan nasional diganti setiap 5 tahun,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pemilu merupakan sirkulasi elit untuk mencapai dan memperbaharui legitimasi rakyat karena jabatan itu merupakan jabatan politik bukan karir.
“Pemilu adalah sirkulasi elit, pertukaran elit untuk mendapatkan dan memperbaharui legitimasi dari rakyat setiap 5 tahun, karena jabatan ini bukan jabatan karir, ini jabatan politik. Pemilu itu sarana untuk mengevaluasi kinerja-kinerja wakil-wakil mereka, Presiden, DPR, DPD, DPRD,” lanjutnya.
Ia mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar (UDD) 1945 pasca amandemen, pasal 1 ayat (1)(2)(3), dan pasal 7 dengan tegas menyatakan negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik (demokrasi), kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun.
“Menurut saya UUD sendiri tidak pernah memberikan jalan keluar untuk itu, jangan di paksakan, karena kondisi objektif kondisi faktual saat ini pun memang tidak ada yang urgent untuk harus dilakukan seperti itu,” tutur Fahri
Ia menegaskan, kondisi negara saat ini tidak sama sekali dalam keadaan genting atau pun dalam situasi darurat.
“Negara kita tidak dalam staatsnoodrecht, staatsnoodrecht, kondisi negara kita tidak dalam situasi darurat,” pungkasnya.
Terakhir, Ia menjelaskan bahkan puncak pandemi covid-19 ditahun 2020 sekaligus masih dilaksanakan Pemilihan Daerah (Pilkada) kabupaten/kota provinsi pada saat itu.
“Secara empirik memang tidak ada masalah soal itu, tidak cukup alasan, saya kira logika yang di kembangkan oleh pengusul itu tidak punya tempat, karena memang basicnya tidak jelas,” tutupnya.
Baca Juga : Prof Yusril Ihza Mahendra: Wacana Penundaan Pemilu Hadapi Benturan Konstitusi