Makassar, Rakyat News – Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan analisis terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana telah disahkan para rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 17 September 2019 lalu.

Berikut KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam RUU KPK tersebut yang berisiko melemahkan Kerja KPK, yaitu:

  1. Pelemahan Independensi KPK
  • KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif;
  • Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
  • Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya;
  1. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus;
  1. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan;
  1. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
  1. Standar larangan Etik, dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.
  • Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga:
    1. Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya;
    2. Dewan Pengawas Tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK;
  • Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK;
  1. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
  1. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan;
  1. Salah satu Pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
  • Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
  • Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat2 untuk dapat diangkat.
  • Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun.
  • Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.
  1. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan
  • Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri
  • Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
  1. Pemangkasan kewenangan Penyadapan
  • Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan
  • Penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi
    1. i. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu:
  • Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas
  • Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan
  • Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan
  • Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
  • Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
  • Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
    1. ii. Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
  1. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
  1. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu:

Pasal 6 huruf a