JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyoroti adanya disparitas dalam pemberian putusan pada tiga tingkatan peradilan di Indonesia.

“Kalau saya sendiri justru lebih melihat adanya persoalan lain dari sejumlah putusan-putusan badan peradilan, yaitu kecenderungan munculnya perbedaan-perbedaan mencolok (disparitas) dalam penjatuhan hukuman,” kata Nawawi melalui keterangan tertulis, Sabtu, 12 Maret 2022.

Baca Juga : Hukuman Edhy Prabowo Dipangkas, KPK : Pertimbangkan Hakikat Pemberantasan Korupsi

Nawawi Pomolango mengkritisi putusan kasasi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Nawawi mengatakan Edhy mendapatkan hukuman lima tahun penjara dalam upaya hukum tingkat pertama. Lalu, hukuman Edhy sempat ditingkatkan menjadi sembilan tahun penjara melalui putusan banding.

“Yang kemudian berubah lagi di tingkat majelis kasasi menjadi lima tahun lagi,” ujar Nawawi.

Nawawi menilai disparitas pemberian putusan lembaga peradilan sangat kentara.
Dia mengaku sudah memantau beberapa persidangan kasus korupsi. Sebanyak tiga lembaga peradilan di Indonesia seakan tidak sejalan dalam memberikan hukuman pada pelaku korupsi di Indonesia.

“Fakta-fakta disparitas penghukuman antara sesama putusan majelis hakim ini yang menurut saya lebih menjadi persoalan dan harus dikritisi,” kata Nawawi.

Nawawi juga menilai hakim seperti seenaknya dalam memberikan putusan. Penjatuhan hukuman seolah tergantung pada hakim yang bertugas.

“Karena di sini penjatuhan hukuman seperti terkesan menjadi suka-suka, lain hakim lain hukuman, seperti lain koki lain rasa masakan,” ucap Nawawi.

Dia juga menilai hakim sudah megabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan. Disparitas ini harus diluruskan dalam waktu dekat.

“Ini yang menurut saya harus menjadi pekerjaan rumah Mahkamah Agung,” ucap Nawawi.

Dilansir dari medcom.id, hukuman Edhy Prabowo diubah oleh MA. Vonis terdakwa kasus suap ekspor benih lobster itu menjadi lima tahun penjara oleh majelis hakim kasasi. Dia divonis sembilan tahun penjara pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.