Efek Domino Politik Identitas Pasca Pemilu 2019
Kedua labelitas terhadap pemilih perempuan ini akan terus muncul dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Pengalaman pelaksanaan dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama yakni perilaku distortif, melanggar hukum dan cenderung menghalalkan semua cara (vote buying). Padahal, demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai “Pemerintahan Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat”.
Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.
“Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.
“Dalam diisertasi Haedar Nashir, Islam Syariat : Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.
Kedua, selama pelaksanaan Pemilu 2019, media sosial baik WA dan Facebook juga dimanfaatkan untuk menyebarluaskan politik identitas dan mempertajam polarisasi ditengah masyarakat dengan menebar kebencian massa terhadap lawan politiknya, dengan mengangkat isu-isu negatif lawan politiknya seperti kasus amoral, pengarusutamaan isu kesukuan atau SARA dan kasus korupsi lawan politik.
Media sosial menjelma ruang yang kian penting bagi orang Indonesia untuk berdebat dan membahas isu-isu ini, dari percakapan pribadi di WhatsApp hingga diskusi terbuka di Facebook dan Twitter. Peneliti media Merlyna Lim menyebut diskursus media sosial seputar Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai unjuk “kebebasan untuk membenci.”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan