Jakarta, Rakyat News – Bumi Cendrawasih, begitulah masyarakat mengenal tanah Papua dan Papua Barat. Wilayah Papua bukan hanya memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi juga lautan yang luas dan kaya akan hasil ikannya.

Pro kontra akan isu pemekaran wilayah Papua sudah terjadi sejak tahun 1999 atau pada era Kepresidenan B.J. Habibie melalui UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong tetapi hal ini mendapat penolakan dari elemen masyarakat Papua.

“Namun sejak pecahnya permasalahan rasisme oleh OAP atau mahasiswa asli Papua dengan Ormas di Malang, Jawa Timur, yang kemudian memicu berbagai reaksi, terkhususnya kelompok kepentingan atau separatis di tanah Papua.”

“Masalah ini secara tidak langsung telah mengubah situasi Bumi Cendrawasih menjadi ricuh dan tidak aman terutama bagi para pendatang. Kericuhan yang terjadi di Bumi Cendrawasih ini mendapatkan atensi dari berbagai pihak, tidak hanya Apkam tetapi juga para pakar politik maupun elite politik,”

“Sehingga pada bulan September 2019 lalu, Presiden Jokowi menerima 61 perwakilan dari Papua dan Papua Barat di Istana Negara, Jakarta, dan menyepakati adanya rencana pemekaran wilayah Papua.”

“Wacana pemekaran ini tentunya langsung ditanggapi oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan mereka menyatakan bahwa Pemerintah Pusat telah menyetujui rencana pemekaran tersebut. Namun sampai saat ini rencana tersebut masih ditangguhkan, mengingat masih perlunya pembahasan, terutama ketersediaan anggraan negara untuk mewujudkan pemekaran wilayah di tanah papua.”

“Pro Kontra Pemekaran Papua
Keputusan Pemerintah Pusat tentang pemekaran wilayah Papua, yang didukung oleh elite-elite lokal Papua, menuai kontroversi di kalangan kelompok-kelompok tertentu dan tidak menutup kemungkinan ini juga diprovokasi oleh kelompok separatis, mengingat pergerakan mereka cenderung memanfaatkan momentum yang kontradiktif untuk memperkeruh situasi politik lokal papua maupun nasional.”