Masalah yang temukan dalam evaluasi tersebut tentu saja sangat terkait dengan celah dalam UU Otsus yang memberikan ruang pengaturan lebih lanjut yang demikian besar pada pemerintah daerah yang realitasnya memiliki kelemahan fundamental dalam kapasitas institusional untuk menterjemahkan UU Otsus sesuai dengan aspirasi dan kepentingan daerahnya.

Selama ini, UU Otsus Papua memberikan kewenangan pengaturan yang besar bagi daerah untuk menyelenggarakan pembangunan daerah melalui Perdasi dan Perdasus. Masalahnya, aturan-aturan turunan dari pada UU Otsus ini berada dalam situasi politik lokal yang kerap tidak stabil dan seringkali bersifat elitis. Sebagai kebijakan otonomi asimetris, UU Otsus Papua menempatkan pemerintah propinsi sebagai pusat dari pelaksanaan Otsus Papua.

Hal ini berbeda dengan otonomi yang dipraktekkan di wilayah lain dimana kabupaten/kota merupakan basis pelaksanaan otonomi sehingga jarak antara proses pemerintahan dengan aspirasi masyarakat tidak terlalu senjang. Sehingga, wajar saja jika realisasi Otsus Papua dirasa tidak memberikan dampak yang maksimal pada masyarakat. Para elit Papua dalam kekuasaan politik sajalah yang justru menikmati kue alokasi Otsus Papua.

Isu Strategis

Momentum revisi UU Otsus Papua harus dijadikan sarana untuk merevitalisasi pelaksanaan Otsus Papua agar berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Papua-Papua Barat. Sejumlah isu strategis hendaknya dapat didorong menjadi diskursus dalam pembahasan revisi UU Otsus Papua, antara lain :
Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. UU Otsus Papua perlu memberikan kewenangan yang lebih besar bagi kabupaten/kota di Papua-Papua Barat untuk terlibat dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan daerah melalui alokasi dana Otsus. Selain itu, pemerintah pusat perlu membuat aturan turunan dari pada UU Otsus yang lebih bersifat operasional dalam kaitannya dengan tata kelola dana Otsus.