Rahasia Cinta di Antara Pandemi Covid 19 dan Sikap Keberagaman
*****
Bila negara berkuasa atas tempat ibadah, lantas atas dasar apa negara “mengklaim” memiliki kekuasaan atas tempat ibadah?
Bukankah secara filosofis dan normatif, negara itu hanya berkuasa atas Tanah, Bumi, Air dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
Jelas, negara menunjukan kekuasaan yang tiranik ketika memaksa tempat ibadah harus tutup tanpa syarat.
Kontribusi negara kepada tempat ibadah, tentu saja sangat kecil. Bahkan di jutaan tempat ibadah, negara tak pernah hadir meski itu senilai dengan satu rupiah. Dan sungguh, betapa arogannya negara yang tak memiliki kontribusi sedikitpun, lalu merasa sangat berkuasa atas tempat ibadah.
Kalau alasan, masjid akan menjadi “ruang penularan” yang bersifat massif terhadap penularan Covid 19, maka argumentasi ini menunjukkan “cacat pikiran yang parah”.
Mengapa negara tidak memfasilitasi secara rutin tempat ibadah yang ramah dan sehat bagi jamaah selama periode pandemi ini? Mengapa negara tidak memfasilitasi agar industri pertekstilan menyediakan pakaian ibadah antivirus korona? Bukankah, saat ini merupakan momentum terbaik bagi negara untuk hadir di setiap tempat ibadah?
Bila tingkat sterilisasi rumah ibadah sudah mendekati standar fasilitas isolasi pasien positif korona, lalu dimana-mana tersedia pakaian ibadah antivirus, maka tentu saja habitus berjamaah di rumah ibadah akan normal seperti biasa.
Itulah pemerintah yang tidak mau repot. Menganjurkan gunakan masker tetapi kesulitan rakyat untuk memperoleh masker jauh lebih berat. Mengajurkan isolasi mandiri, namun paket bantuan di depan pintu rumah tak kunjung datang.
*******
Engkau boleh merendahkan cinta sederhana kaum sufi. Engkau boleh salah memahami cara mereka mencintai Tuhan dan Nabinya. Namun mereka, tidak akan menertawai pemahaman agama, orang-orang seperti Anda! Mengapa? Karena cinta mereka melampaui kebencian dan kesoktahuan orang-orang yang beragama dengan sangat dangkal.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan