Beragama itu, cukup dengan cinta yang sederhana. Tak mesti mewah seperti jalan intelektual kaum filsuf. Bila agama semata soal metafisika, kearifan puncak dan wacana sejenisnya, maka agama menjadi begitu eksklusif. Kaum filosofi akan memiliki kedudukan sama seperti kaum pemodal di dunia kapitalisme.

Maka ketika hari persaksian digelar, “Sang Maha Cinta” akan memanggil lebih dahulu “cinta-cintanya” yang paling sederhana. Bukankan “cinta yang nampak sederhana itu” akan selalu dianggap biasa oleh hati dan pikiran? Karena itu, Tuhan yang maha cinta justru memuliakan cinta-cinta penuh kesederhanaan.

Pandangan cinta saya, justru membuktikan satu hal. Tidak ada “korelasi” antara rasionalitas, akal sehat, maupun tradisi filsafat dengan tingkat keampuhan melawan covid 19.

Negara super rasional seperti Amerika, justru tidak berkutik. Tradisi filsafat di Perancis, Inggris dan Jerman, juga tidak berarti sama sekali. Apalagi klaim “akal sehat” beragama di Iran, Arab Saudi dan Mesir, juga tak berdampak signifikan dalam habitus menghadapi covid 19.

Apa arti semua itu?

Semua “narasi” tentang kehebatan bangsa-bangsa di dunia saat ini, hanyalah omong kosong belaka. Seluruh “metanarasi” kehebatan peradaban dunia saat ini, seluruhnya hanyalah sampah!

Bila di masa lalu, sebagian umat Islam memercayai agama “sama dengan” kepentingan politik, maka justru paradigma seperti ini yang paling merusak tatanan kehidupan dunia. Pada akhirnya, agama dan kepentingan politik selalu bersenyawa hingga substansi agama menjadi gelap penuh rahasia.

Mungkinkah pasca pandemi, akan muncul buku monumental bertema “Kedigdayaan Agama menaklukan Covid 19”? Lagi-lagi, substansi agama kembali dikorbankan, bila ada penulis yang coba menjawab tantangan ini.

Kalau saya, kehadiran covid 19 mari kita sambut dengan rindu seutuh cinta, sayang sepenuh kasih. Ia hanyalah rahasia yang sengaja Tuhan ciptakan agar kita lebih mengenal kemahacintaannya.