Ini menunjukkan bahwa elemen masyarakat yang kontra RUU ini menganggap media sosial sangat efektif digunakan sebagai aspirasi suara atau strategi gerakan untuk mempengaruhi persepsi khalayak masyarakat terkait kebijakan pemerintahan.

Banyak kelompok yang menolak RUU Omnibus Law menggunakan media sosial sebagai manuver gerakan protes mereka.

Tengok saja #GejayanMemanggil memicu demontrasi besar-besaran yang hampir semua elemen masyarakat ikut berpartisipasi. Ditambah pula ada aksi lanjutan dengan

#GejayanMemanggilLagi. Fenomena ini menunjukkan rangkaian awal gerakan masyarakat sipil bisa tercipta melalui seruan di media sosial.

Apalagi, baru-baru ini puluhan pekerja melakukan manuver aksi demontrasi ke beberapa akun media sosial maupun aplikasi chatting WhatsApp pimpinan Badan legislatif (Baleg) DPR. Sekitar 10 ribu buruh mengirimkan pesan penolakan RUU Omnibus Law ke pimpinan baleg DPR, khususnya pada klaster ketenagakerjaan.

Tentu aksi ini merupakan busa jadi kali pertama demontrasi terbesar melalui media yang pernah dilakukan salah satu elemen masyarakat Indonesia. Pola demikian juga dianggap efektif dalam demontrasi karena bisa terhubung langsung ke pihak-pihak bersangkutan.

Tidak harus panas-panasan, teriak-teriak yang terkadang belum tentu bisa komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Meski begitu, banyak juga kelompok-kelompok yang mengatasnamakan tolak Omnibus Law di media sosial tetapi sebenarnya bertujuan memperkeruh suasana.

Kelompok-kelompok ini memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat dengan menyebar disinformasi terkait RUU Omnibus Law.

Singkat kata,media sosial tak boleh dipandang sebelah mata. Pada peristiwa ini, media sosial berhasil menciptakan gerakan massal dengan pola yang baru. Media sosial juga dapat menyulut persepsi masyarakat yang sama.

Kini platform media sosial dapat dijadikan ujung tombak bergulirnya gerakan maupun alternatif gerakan untuk mengangkat isu, menyerukan gerakan, memobilisasi massa hingga membuat perubahan sosial.