RAKYAT NEWS, JAKARTA – Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng menganggap dalam kerangka revisi Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, ada tiga kepingan kunci strategis antara lain, soal Kewenengan, Kelembagaan, Kedudukan. Hal itu disampaikan oleh Robert dalam closing statement diskusi mengangkat tema” Trasformasi Pelayanan Publik dan Penguatan Pranata Pengawasan”, pada Rabu (5/3/2024).

Pertama, Robert mengatakan sering kali menjadi bahan pertanyaan publik mengenai daya eksekusi produk Ombudsman.

Padahal, sangat jelas kewenangan Ombudsman untuk memproses saat menerima setiap aduan atau pelaporan dari masyarakat.

“Termasuk kami (Ombudsman) punya hak memanggil paksa para pihak, baik pelapor atau terlapor. Kami punya hak memproses orang yang menghalangi permitaan keterangan Ombudsman,” tegasnya.

“Bahkan kena diancam pidana dan denda bisa mencapai 10 Miliyar undang-undang menyatakan itu,” lanjutnya.

Kendati demikian, ia menilai semua itu menjadi sebuah tantangan ketika setiap aduan atau laporan yang di maksud sudah diproses akhir esekusi Ombudsman.

“Bagaimana produk Ombdsman lalu seperti dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disampaikan ke (Sesuai Komisi) di DPR RI,” harapnya.

“Diserahkan di sana (DPR RI) secara formal, kemudian eksekusi atau produk teman-teman Ombdsman menjadi pengawasan,” ucapnya.

Perlu dipahami, katanya, lembaganya ini mempunyai katagori Parlementaria Ombudsman.

“Kami ini dipilih dari DPR, tentu usulannya dari bapak Presiden Republik Indonesia. Maka, sepatutnya hasil pekerjaan Ombudsman bersinergi dengan DPR,” tandasnya.

“Kami mengawasi tata kelola dan mall admistrasinya. DPR RI pengawasan secara politiknya. Materinya kurang lebih sama sesungguhnya, beda bobot kewenangan saja,” jelasnyta.

“Kami tiap 3 bulan laporan triwulanan dan tiap tahun laporan hanya sekedar dikirim ke DPR,” jelasnya.

Alasan itulah, ia meminta ke depan dalam penyerahan laporan Ombudsman agar diberikan ruang membuat forum resmi dengan DPR RI.