Sementara itu Dr. Ahmad Rum yang akrab disapa Rum ini, menyoroti terkait sistem kepelatihan.

“Untuk mendapatkan atlet berprestasi tentu dibutuhkan sistem kepelatihan berbasis saintific atau berbasis ilmu pengetahuan. Tentu ini tak lepas lagi dari pendanaan bagi olahragawan kita,” terangnya.

“Contohnya saja untuk pemeriksaan doping saja, mesti kita kirim ke Korea, tentu ini memakan waktu dan kita telah kalah dari Thailand dan Malaysia yang telah memiliki tes doping ini,” tambahnya.

“Saat ini, kita telah bergeser dari sistem amatir ke sistem profesional yang mana pendanaan sangat penting pada bidang olahraga profesional. Contohnya saja, sewaktu PON Papua, atlet Sulsel itu hanya diberi bonus 150 juta bagi peraih medali emas sedangkan tuan rumah Papua diberi bonus 1 M, tentu sebagai atlet profesional mereka memilih mutasi ke daerah tersebut, demi kesejahteraannya,” lanjut tenaga pengajar di UNM ini.

“Jadi untuk mencapai prestasi itu sangat mahal dan butuh biaya yang besar dan ini harus dipahami oleh pemerintah serta DPRD Sulsel,” tutupnya.

Dalam diskusi ini, para peserta sangat antusias untuk bertanya, apalagi setelah mendengar realita dari pendanaan KONI yang sangat kecil padahal akan membuat event Porprov.

Seperti yang disinggung oleh Syamsul Rijal dari Gowa serta Sry Syahril yang juga Ketua JOIN Makassar.

Sementara itu penanya dari Bantaeng, Alimin DS membahas masalah koordinasi antar lembaga yang diharapkan lebih terjalin dan terbuka agar masalah terkait pendanaan teratasi.

Sedikit berbeda dikemukakan oleh Rusdin Tompo yang membahas terkait tokoh masyarakat yang membina cabang olahraga, agar beban KONI dari segi pembinaan dan pendanaan berkurang.

Demikian pula halnya dengan Sainuddin Sila yang menyoroti terkait banyaknya venue-venue pertandingan yang sudah tidak layak untuk dipakai.