Dengan tidak dilaksanakannya kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022, diperkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp1,1 triliun yang tidak dibayarkan.

Tagihan tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih
kurang Rp700 miliar dan sebesar Rp344.355.425.760 kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET.

Saat ini, Kementerian Perdagangan dan BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran
karena peraturan di atas yang menjadi dasar pembayaran, telah dicabut dan tidak terdapat
peraturan peralihan yang mengatur proses pembayaran yang diamanatkan dalam peraturan tersebut.

Pemerintah masih meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan kebijakan tersebut.

KPPU telah memanggil dan mendengarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) kemarin tanggal 9 Mei 2023, dan disepakati bersama oleh kedua pihak untuk menyampaikan ke media bahwa, terkait pembayaran penyediaan minyak goreng kemasan dengan skema pembayaran dana BPDPKS masih menunggu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung.

Selain itu, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga CPO dan harga minyak
goreng di Indonesia semakin besar.

Dari data rasio harga CPO/minyak goreng, dicatat bahwa
rata-rata rasio pada tahun 2021 sebesar 25%, sementara pada tahun 2023 menunjukkan
angka sebesar 40%.

Sehingga antara dua tahun tersebut, diestimasi potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga minyak goreng akibat sentimen tersebut mencapai Rp457 miliar.

Kerugian masyarakat ini akan terus meningkat, jika harga minyak goreng
meningkat sebagai akibat upaya pelaku usaha yang membatasi akses atau penjualan minyak
goreng kepada masyarakat.