Dengan demikian, hemat saya karena pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi, ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum, lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa “Constitution Disobedience” berdasar dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah “meaningful participation” itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kedepan.

Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights,dengan kewenagan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri, tutup Fahri Bachmid.