MAKASSAR – Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan, kamis(24/8/2023).

Pemerintah juga menerbitkan Rancangan Rencana Aksi Nasional Hak Penyandang Disabilitas (RAN PD) yang mencantumkan mengenai penguatan regulasi dan kebijakan, meningkatnya akses pelayanan hak-hak dasar, menguatnya sistem pengaduan, pelayanan dan penanganan penyandang disabilitas.

Selain itu, Rencana Aksi Nasional Keterbukaan Pemerintah Indonesia (Open Government Indonesia/ RAN OGI) 2020-2022 juga mengamanatkan adanya peraturan pelaksana untuk asesmen pemenuhan kebutuhan akomodasi yang layak bagi Penyandang

Disabilitas di setiap tahapan acara peradilan, di mana lembaga yang menjadi penanggung jawab diantaranya Kejaksaan RI.

Berdasarkan hal tersebut Institute of Community Justice (ICJ) Makassar atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) melaksanakan kegiatan K-Hub Berbincang Menarik (Berbinar) terkait Sosialisasi Pedoman Kejaksaaan RI No. 2 Tahun 2023 “Akomodasi Yang Layak dan Penanganan Perkara Yang Aksesibel dan Inklusif bagi penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan”.

Kegiatan ini dilaksanakan secara Hybrid yang berlangsung di hotel Remcy, Makassar, Rabu, 23/08/23.

Salah satu pemateri Akbar selaku Kepala Seksi Tindak Pidana orang dan harta benda Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel membawakan materi sarana prasarana dengan kelembagaan dalam implementasi pedoman kejaksaan no. 2 tahun 2023.

Ia mengatakan hal yang mendasari terbentuknya, pedoman kejaksaan no. 2 tahun 2023 ialah pemenuhan aksesibilitas yang perlu dikuatkan dalam proses peradilan

“Komitmen kejaksaan mengimplementasikan tentang aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas kelompok rentan ini supaya bisa mendapatkan hak dan kemudahan-kemudahan pada proses peradilan. hal tersebutlah yang mendasari bagaimana terbentuknya, pedoman kejaksaan no.2 tahun 2023 ini,” ungkapnya.

Akbar menyebutkan pedoman ini juga dilatar belakangi dari adanya beberapa hal-hal menyangkut masalah hak dan kebebasan berpendapat yang dideklarasikan tahun 1984, kemudian juga dilatar belakangi dengan adanya deklarasi hak-hak penyandang Disabilitas.

“Kemudian juga sudah ada UU yang mengatur tentang adanya kewajiban penegak hukum untuk melaksanakan atau memberikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, didalam pasal 12 UU tersebut juga

diberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengatur secara internal tentang standarisasi pemeriksaan, karena standarisasi pemeriksaan ini bagian dari akomodasi layak bagi penyandang disabilitas,” jelas Akbar.

Dirinya mengemukakan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas ada dua, baik terkait pelayanan maupun terkait sarana dan prasarananya.

“Jadi hal-hal yang menjadi kewajiban penegak hukum adalah bagaimana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan menjadi suatu kebutuhan hukum khususnya bagi penyandang disabilitas dan aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Lebih lanjut Akbar menyampaikan para penegak hukum diharapkan ada pengaturan khusus, terkait bagaimana kekuatan pembuktian keterangan penyandang Disabilitas ini dalam proses persidangan termasuk juga terkait masalah pertanggungjawaban pidananya.

“Jadi dua hal ini diharapkan penegak hukum ketika proses peradilan dimana memposisikan penyandang Dissabilitas ini baik sebagai saksi, korban, ataupun tersangka/terdakwa,” tukasnya.

Di pedoman kejaksaan no 2 tahun 2022 ini ada beberapa hal yang diatur didalamnya, baik menyangkut masalah pengertian Dissabilitas, Asas, akomodasi yang layak serta sarana dan prasarana, dan beberapa bagian tertentu terkait masalah prosedur penanganan baik tahapan proses pemeriksaan, tuntutan, pembuktian, dan eksekusi.

“Didalamnya ada pengaturan-pengaturan yang bersifat khusus walaupun rujukannya adalah hukum acara pidana tetapi karena ini adalah kelompok rentan makanya diatur hal-hal bersifat khusus yang nantinya akan dijadikan pedoman bagi jaksa penyidik maupun penuntut umum didalam penyelesaian perkara-perkara yang melibatkan kelompok rentan,” papar Akbar.