Membaca koran merupakan aktivitas pertama saya, setiap pagi, begitu tiba di kantor Radio Bharata FM di Jalan Rajawali Nomor 16, Makassar. Kala itu, Radio Bharata masih bersiaran di frekuensi 106.5 FM.

Saya menyisir judul-judul berita, membaca rubrik-rubrik menarik, dan melihat peristiwa-peristiwa yang merupakan agenda publik untuk diangkat sebagai topik bahasan dalam program SKETSA (Seputar Kehidupan Kota Besar).

Membaca koran ini juga akan bermanfaat sebagai informasi latar belakang, sebelum saya mewawancarai seseorang, bisa itu pejabat, pakar, atau aktivis, dan lain-lain.

Saya mengistilahkan, apa yang saya lakukan ini, adalah “menaikkan level” agar bisa nyambung dengan narasumber. Ini penting supaya kita tidak ‘buta-buta’ menyambangi narasumber.

Supaya acara SKETSA tak hanya dimonopoli oleh pandangan elit dan kalangan intelektual, saya biasa mewawancarai dan merekam suara masyarakat, yang dalam jurnalisme radio sebut vox pop (diambil dari frasa Latin, fox populi, artinya suara rakyat).

Liputan-liputan seputar kehidupan masyarakat, seperti pembuat keranjang parcel menjelang Lebaran dan Natal, suporter sepakbola, rumah singgah dan anak jalanan, serta teman-tema aktual lainnya.

Liputan dan wawancara terkait isu-isu yang diusung kalangan NGO juga saya angkat. Wawancara dengan tema-tema kritis ini merupakan bagian dari advokasi, meski dilakukan dengan hati-hati.

Maklum, era itu kita masih di bawah kendali rezim Orde Baru yang represif. Butuh keterampilan tersendiri untuk mengemas siaran, tentu saja dengan melakukan self censorship.

Dalam keterbatasan ruang itu, kami masih bisa mengangkat tema-tema sensitif. Bahasan dengan tema demokrasi, HAM, lingkungan hidup, keadilan dan kesetaraan gender, HIV-Aids, hak-hak konsumen, dan lain sebagainya pernah kami kupas di SKETSA.

Persoalannya kemudian, radio siaran saat itu belum diikenal sebagai radio yang juga membuat berita. Kalau bicara berita radio, asosiasi orang langsung ke RRI (Radio Republik Indonesia). Orang sudah sangat familiar dengan siaran berita RRI.