Jakarta, Rakyat News  – Dipenghujung tahun 2017 ini, tersisa 6 bulan menuju hari H Pilkada Serentak 27 Juni 2018. Meski masih jauh, namun potensi konflik sudah mulai menampakkan batang hidungnya. Hampir setiap warga masyarakat resah Pilkada di Sulsel akan berakhir panas.

Apalagi Kepolisian Republik Indonesia telah memasukkan Sulsel dalam kategori 5 besar zona merah. Yakni 5 provinsi‎ yang dinilai paling rawan konflik pilkada. Sulsel sejajar dengan provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua dalam hal potensi konflik.‎

‎Konflik politik antar kubu dalam pilkada adalah hal yang biasa. Namun menjadi tak biasa kala konflik sudah melibatkan aktifitas fisik yang mengancam jiwa masyarakat dan aset-aset negara serta mengganggu ketertiban umum. Konflik menjadi tak biasa saat ia memberangus kohesifitas instrumen politik dan pemerintahan lokal serta kehidupan bermasyarakat.‎

Ambisi dan sifat rakus adalah biang keladi munculnya konflik-konflik seperti itu dalam pilkada. Ambisi berlebihan akan meneba‎r virus destruktif lewat intimidasi, pembunuhan karakter, kampanye hitam, fitnah, jual beli suara, dan tindakan-tindakan serupa agar bisa berkuasa atas manusia lainnya.‎

Ciri-ciri seperti ini sejalan dengan teori Filsuf Jerman, Karl Marx, bapak dari paham komunisme. Marx menyakini bahwa konflik bermula dari keserakahan. Di mana materi, harga diri (prestige), kekuasaan (power) adalah sesuatu yang mutlak untuk dimiliki. Karenanya untuk melakukan suatu perubahan, konflik adalah jalan terbaik.‎

Dalam konteks seperti itu, prinsip homo homini lupus menjadi spirit untuk mempertahankan politik status quo. Prinsip ini menyamakan manusia dengan binatang, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama manapun.‎

Setidaknya karakteristik seperti itu sudah lama menampakkan diri di Sulsel. Di tahun 2010 lalu tiga kabupaten di Sulsel rusuh akibat Pilkada. 1 korban tewas di Tana Toraja dan puluhan luka di Soppeng dan Maros. Belum lagi kantor-kantor pemerintah yang luluh lantak dilahap api kemarahan massa. Hal serupa bahkan kembali terulang di Pilwalkot Palopo dan Pilgub Sulsel 2013 lalu.

‎Dalam manajemen konflik, salah satu metode penyelesaian konflik yang ampuh adalah konsensus. Yakni pemahaman bersama, di mana semua pihak harus duduk bersama dan menyelesaikan masalah secara terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta menjunjung tinggi asas kejujuran dan keadilan.

Karena itu, guna menghindari konflik pilkada dalam dunia politik dibutuhkan kedewasaan dalam berpolitik dan kematangan para tokohnya. Kandidat dan masyarakat harus mengedepankan ‎otak ketimbang otot, gunakan hati ketimbang material, dan bertindak secara rasional ketimbang secara emosional.

Dalam menyikapi era milenial, digitalisasi dan interaksi tanpa batas yang sarat dengan potensi distruptif diperlukan kejelian dan kecerdasan kita dalam menyongsong tahun 2018. Meraih masa depan gemilang Sulsel tidak hanya mengandalkan pendekatan yang serba fisik-material, tetapi diperlukan hati atau kalbu agar hasrat dan ambisi kekuasaan tidak salah arah. (*)