Menakar Sosok Jaksa Agung di Kabinet Prabowo-Gibran
Oleh : FERRY TAS, S.H., M.HUM., M.SI.
(Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Sulsel/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Hasanuddin)
Tahun 2001, tiga tahun pasca reformasi menjadi momentum mengembalikan kepercayaan dan harapan rakyat di tengah pesimisme penegakan hukum yang bersih dan tuntas. Sosok berani dan tak ada negosiasi berhasil memenjarakan seorang pengusaha yang sangat berpengaruh saat itu dan mantan Menteri Perindustrian, Bob Hasan. Ia adalah Baharuddin Lopa, Jaksa yang memulai kiprahnya saat berusia 23 Tahun di Kejari Makassar. Lopa tampil sebagai sosok Jaksa Agung yang populis, jujur, dan berani.
Sejarah mencatat nama-nama seperti: Andi Muh. Ghalib (TNI), Marzuki Darusman (Birokrasi/Partai Golkar), Sudi Silalahi (Birokrat/TNI), Abdul Rahman Saleh (Advokat), diangkat oleh Presiden pada zamannya menjadi Jaksa Agung, Kejaksaan seperti sulit berkembang, hal ini dipengaruhi kedudukan lembaga Kejaksaan dan kewenangannya yang membutuhkan treatment khusus, strategi dan keahlian khusus secara teknis yuridis, yang tidak dimiliki institusi/badan/birokrasi lain, baik dalam hal penanganan perkara, penegakan supremasi hukum maupun dalam pelaksanaan tugas khusus, boleh dikatakan bahwa insan Adhyaksa merupakan ASN yang memiliki kekhususan dengan kewenangan strategis dalam perkara Tipikor, menjadi penuntut umum, eksekutor atas putusan hakim yang telah inkracht, sebagai dominus litis dan bahkan bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam bidang perdata dan tata usaha negara untuk mewakili kepentingan negara. Untuk sosok Jaksa Agung mendatang sejarah telah memberikan pelajaran terbaiknya, maka jangan pernah coba-coba.
Sosok pemimpin menjadi titik sentral menentukan arah dan tujuan kemana kapal akan berlabuh. Kehadirannya menggerakkan dan diikuti untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan selalu memberikan keteladanan, falsafah hidup orang Minang didauluan salangkah, ditinggian sarantiang berarti didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, seorang pemimpin hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting mengajarkan kepemimpinan egaliter dalam budaya Minangkabau. Kok gadang jan malendo, kok panjang jan malindih, kok laweh jan manyaok, kok cadiak jan manjua, bermakna kalau berpangkat atau berjabatan jangan melanda, jika panjang jangan melindas, jika lebar jangan menutup, dan jika cerdik jangan menjual. Falsafah tersebut mengingatkan bahwa jabatan dan kekuasaan bagaikan pedang bermata dua dapat melindungi dan sewaktu-waktu dapat melukai.
Tinggalkan Balasan