RAKYAT NEWS, JAKARTA – Birunya langit dan pancaran refleksi awan di danau pada kawasan Dieng, Jawa Tengah, terlihat indah memanjakan mata. Seakan mengajak kita menyambut cerahnya hidup hari itu. Foto hasil jepretan Barry Kusuma itu menjadi cover edisi pertama majalah Lionmag yang terbit akhir September 2006.

Kemunculan perdana yang mencuri perhatian publik menjadi momentum sekaligus titik awal menandai perjalanan panjang Lionmag, menemani perjalanan udara penumpang Lion Air, seiring debut maskapai swasta nasional Lion Air di bisnis industri penerbangan tanah air.

Tanpa terasa, pada tahun ini, tepatnya 26 September September 2024 majalah Lionmag genap berusia 18 tahun. Memang, ada yang bilang usia 17 tahun terasa manis. Sweet seventeen. Ada juga yang menyebut usia 18 tahun itu terasa istimewa. Semacam magic birthday. Delapan belas jadi milestone kedewasaan bagi sebagian orang.

Bak seorang gadis, manisnya sudah lewat. Tapi adakah tersisa yang istimewa? Ada. Setidaknya majalah dengan bahasa ringan-menghibur dan kekuatan pada fotonya ini masih eksis. Penumpang maskapai dibawah naungan manajemen Lion Grup masih menjumpai fisik majalahnya di kabin pesawat. Disaat banyak majalah sebagai produk cetak yang satu per satu “pamit” ke pembacanya.

Saya menyebutnya istimewa juga karena perjalanan majalah Lionmag yang tak lepas dari dinamika. Lolos dari ancaman badai ‘gulung tikar’ yang layaknya malaikat pencabut nyawa bagi sejumlah media cetak di tanah air.

Majalah dalam pesawat (inflight magazine) berkembang di era 1980-an. Maskapai biasanya “menggandeng” penerbit eksternal. Seperti Lionmag diproduksi PT Bentang Media Nusantara.

Kelahiran Lionmag diketahui berjalan normal. Tanpa sesar. Pemilik Lion Air, Rusdi Kirana mempercayakan kepada Makhfud Sappe untuk menerbitkan majalah di maskapainya. Makhfud kemudian memilih nama sederhana: LIONMAG. Singkatan dari Lion Air Magazine.

Diedisi awal dimulai, Makhfud mengajak bergabung Gener Wakulu dan Jery Toisa, kantor menempati ruko pinjaman kawan mereka, dr Priyanto Sismadi samping RS Harun, Kalimalang, Jakarta Timur. Oplahnya 3.000 eks saat itu.

Setelah terbit dua edisi, Lionmag pindah ke ruko di Jalan RS Fatmawati. Personilnya tambah tiga menjadi enam orang. Dibantu beberapa staf. Disini kurang lebih setahun. Lalu pindah ke bekas kantor Lion Air di Jl.Teuku Cik Di Tiro 77, Gondangdia, yang disulap sebagai kantor redaksi, pemasaran dan layouter/desainer.

Dari kantor di kawasan Menteng inilah Lionmag berkembang pesat. Memperluas sayap bisnis. Melakukan hilirisasi. Lahirlah seperti Batik Air, Wings Air, majalah inflight anak “Cubbo”. Tak berselang lama, terbit majalah “Eat and Leisure”. Namun keduanya hanya bertahan setahun.

Pada masa itu, Lionmag banyak disupport oleh para fotographer kolega Makhfud. Beberapa kontributor mengisi konten dan foto-foto dari para fotografer profesional. Seperti Ed Zoelverdi (alm), mantan jurnalis foto majalah TEMPO yang dikenal dengan julukan “Mat Kodak”, Paul I.Zacharia, Barry Kusuma, dan lainnya.

Diakui Makhfud tantangan terberat yang dialami Lionmag terjadi saat badai covid-19 menerjang Indonesia. Pada 2020-2023. Masa itu maskapai sepi penumpang. Bandara sunyi. Juga berimbas pada distribusi majalah, penumpang drop drastis, maskapai tidak beroperasi. Bahkan ada majalah sejenis maskapai lain berhenti terbit. “Alhamdulilah kami tetap terbit saat masa covid,” cerita Makhfud yang juga chief in editor Lionmag.

Sejak pasca covid tersebut, manajemen Lionmag berbenah. Evaluasi. Dan melakukan perubahan yang fundamental. Hal itu dilakukan sebagai jawaban atas perubahan trend bisnis dan perilaku pembaca.

Lionmag lantas mengubah logonya pada 2021. Momentum itu sekaligus menandai era transformasi di tubuh majalah dengan angka readership mencapai 2 juta penumpang setiap bulan ini.

Sejak lahirnya teknologi digital, publisher Lionmag kini menawarkan kesempatan agar majalah mereka dapat dibaca secara digital melalui aplikasi computer tablet atau melalui internet. Dan bisa dijumpai dalam berbagai platform media sosial termasuk di kanal youtube dengan followernya terus bertambah.

Apa strategi Lionmag tetap bertahan, meski tertatih? tanya saya.

“Sebenarnya tak ada yang spesial atau luar biasa,” jawabnya.

Hanya kuncinya, lanjut pria jebolan Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Hasanuddin, menghemat biaya produksi. Dengan memangkas jumlah halaman jadi lebih tipis. Oplah dikurangi. Jadwal terbitnya diundur jadi dua bulanan. Karyawan work from home. Hitungannya bisa menghemat biaya produksi hingga 40-50%.

Ada penumpang yang protes? Entahlah. Makhfud hanya mengangkat bahunya.

“Kami tetap menjaga komitmen ke penumpang supaya tetap ada bacaan menarik di atas pesawat,” tegas Makhfud. *(Rusman Madjulekka).