Djoko Setijowarno : Patroli dan Pengawalan Pejabat Harus Ditertibkan
“Filosofinya hidup di kota itu adalah hidup bersama, karena orangnya banyak. Kalau semuanya meminta diprioritaskan, akan terjadi kecemburuan sosial” – (Tory Damantoro, Januari 2025)
Patroli dan pengawalan atau patwal belakangan menimbulkan persepsi kurang baik dari masyarakat. Terlebih yang terjadi belakangan terakhir kabar iring-iringan kendaraan berplat RI 36 yang dikawal patwal memicu perdebatan di media sosial.
Pengguna jalan yang memperoleh hak utama telah diatur dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut (a) kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; (b) ambulans yang mengangkut orang sakit; (c) kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas; (d) kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; (e) kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; (f) iring-iringan pengantar jenazah; dan (g) konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 135 dalam Undang-Undang yang sama, menyebutkan Kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
Ada saksi yang diberikan bagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (pasal 287 ayat 4).
Sanksi yang diberikan terlalu rendah dan sudah seharusnya masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksi pidana dan denda harus ditinggkan, sehingga ada efek jera bagi yang melanggar aturan itu.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan