Oleh: Fahri Hamzah*

Tidak saja oleh berkembang teknologi informasi, di mana cara dan metode menyadap itu semakin dasyat dengan aplikasi-aplikasi yang ada di dalam smartpone itu. Tetapi ini juga sudah masuk dalam lembaga negara.

Di mana ada lembaga negara yang melakukan penyimpangan di dalam penggunaan alat sadap dan penyadapan.
Nah akhirnya, sampai kemudian revisi UU ITE di masa Pak Jokowi yang kita sahkan dari tahun lalu sampai sekarang ketentuan tentang penyadapan belum ada. Inilah asal muasal sumber kekacauan dalam penyadapan. Di mana penyadapan dianggap sesuatu yang tidak penting.

Padahal, di seluruh dunia ilegal tpying atau unlofor tipying itu adalah suatu pelanggaran HAM berat, yang kita tahu hukumannya di dalam uu ITE itu hukumannya di atas 10 tahun,

Nah sekarang, bagaimana mengatasi ini yang sudah terjadi. Saya mau mengambil kasus terakhir. Kasus pertama penyadapan ke Pak Setya Novanto. Yang menyebabkan Pak setya sempak tersingkir dari pimpinan DPR.

Menurut saya, itu sama yang dilakukan secara ilegal, tidak memberitahukan orangnya, komunikasinya direkam lalu dijadikan alat bukti persidangan untuk memblackmail orang, itu adalah ilegal, itu sama dengan werlestipying.

Kalau yang dilakukan kepada Pak Setya berhadapan, lalu dipasang oleh Makruf Syamsudin apakah pakai handpone atau dr tempat lain. Yang dilakukan kalau betul oleh Ahok atau pengacaranya melakukan penyadapan kemungkinan ada dua.

Pertama, membeli atau menggunakan institusi penyadapan resmi, yang diberikan kewenangan penyadapan oleh uu. Atau ada lembaga lembaga penjual komunikasi elit. Itu sudah biasa sekarang alat sadap dijual secara bebas di mana-mana.

Jadi ada kemungkinan ada orang membikin perusahaan penyadapan di Indonesia ini atau di luar negeri. Sekarang menyadap itu tidak perlu berada di Indonesia. Orang dari negara lain bisa menyadap handpone kita karena HP kita tidak pakai kabel, begitu kita komunikasi lewat HP mereka langsung tancap di sini.