Menteri Agama Keluarkan Aturan Anti Kekerasan Anak di Pesantren
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Menteri Agama, Nasaruddin Umar, telah mengeluarkan peraturan anti-kekerasan terhadap anak di pondok pesantren melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 91 tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak.
Regulasi ini ditindaklanjuti sebagai respons terhadap kasus-kasus penyerangan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.
Meskipun pesantren dikenal sebagai tempat pendidikan berbasis agama, moral, dan karakter, namun tidak terlepas dari kasus-kasus pelecehan.
Pada periode Januari-Agustus 2024, terdapat 101 kasus anak menjadi korban kekerasan seksual di pesantren. Dari data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sebanyak 69% korban adalah anak laki-laki dan 31% adalah anak perempuan.
Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said, mengemukakan pentingnya upaya konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di pesantren sebagai tuntutan dari masyarakat.
“Peta jalan ini harus menjadi panduan bagi pesantren agar memiliki sensitivitas terhadap anak serta memberikan pelindungan maksimal,” kata Basnang, Senin (17/2/2025), mengutip CNNIndonesia.com.
Peraturan tersebut mengatur batas kompetensi ustaz dan ustazah di pesantren, termasuk aspek kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional.
Selain penguasaan materi pelajaran, guru juga diharapkan memiliki kemampuan dalam menerapkan teknik pengajaran yang ramah terhadap anak.
Selain dari persyaratan kompetensi tersebut, akan ada implementasi sistem deteksi masalah melalui Bimbingan & Konseling (BK) yang akan menjadi bagian penting dari peran pendidik.
Basnang menegaskan bahwa semua guru di pesantren harus dapat membimbing santri dalam menghadapi berbagai tantangan pribadi, akademik, dan sosial, serta memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan.
Implementasi peta jalan ini diharapkan dapat mengurangi kasus-kasus kekerasan dengan pendeteksian dini dan penanganan yang tepat sebelum kejadian lebih lanjut terjadi.
“Untuk itu mereka harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, interaktif, dan inklusif, di mana santri merasa nyaman untuk belajar, bertanya, dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran,” kata dia.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan