RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, menyampaikan pidato utama dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Muslim-Budhist di Phnom Penh, Kamboja, pada 27 Februari. Agenda ini mengusung tema “Memperkuat Komunikasi Peradaban untuk Kemanusiaan”.

Kamaruddin hadir sebagai pembicara mewakili Menteri Agama, Nazaruddin, yang berhalangan hadir karena masih dalam pemulihan kesehatan.

Terundang dalam gelaran KTT tersebut tidak kurang dari 38 negara, baik dari kawasan Asia, Eropa dan Timur Tengah, termasuk beberapa delegasi dari Indonesia seperti MUI, PBNU, PP. Muhammadiyah, dan beberapa kalangan akademisi dari perguruan tinggi keagamaan.

Dalam pidatonya, Kamaruddin menyampaikan bahwa setidaknya ada 4 hal strategis untuk menjawab tantangan harmoni umat beragama, terutama di tengah dinamika masyarakat multikultural dan multiagama, juga di era teknologi digital yang sering memicu residu dan berita hoax yang mudah menyulut konflik keumatan, yaitu: pertama, penguatan kelembagaan dialog lintas agama. Di Indonesia, misalnya ada Forum Keurukunan Umat Beragama (FKUB) yang berfungsi mengelola harmoni dan dialog lintas agama.

Kedua, melihat demografi yang makin banyak diisi oleh pemuda milenial dan gen-Z, diperlukan pengembangan program pertukaran pemuda lintas agama untuk menanamkan semangat toleransi dan kolaborasi sejak dini. Di Indonesia, kita melakukan dialog pemuda lintas agama. Di tingkat regional, ada pula dialog lintas agama ASEAN yang diikuti oleh pelajar dan mahasiswa sebagaimana yang dilakukan dalam forum MABIMS.

Ketiga, peningkatan kerja sama antarnegara, khususnya dalam konteks ini, dengan negara-negara Muslim dan Buddha. Hal ini penting untuk berbagi pengalaman dalam membangun toleransi dan kerukunan sosial, apalagi lanskap demografi dan kehidupan beragama di Indonesia dan Kamboja cukup unik.

Di Indonesia, umat Buddha merupakan minoritas di tengah mayoritas Muslim. Di Kamboja, umat Muslim merupakan minoritas di tengah mayoritas Buddha. Tentu saja, berbagi pengalaman sangat penting dan kontekstual untuk penguatan kerukunan dan sinergitas. Dan keempat, memberdayakan komunitas agama setempat, dengan mendukung inisiatif lintas agama dalam membangun dialog dan kerja sama lintas agama. Misalnya, membentuk Yayasan lintas agama yang bergerak dalam pengembangan ekonomi umat atau menangani isu-isu kemanusiaan, seperti kemiskinan dan masalah lingkungan.

Di Indonesia, saat ini sedang menggalakkan penanaman pohon oleh komunitas agama secara nasional, untuk mengatasi perubahan iklim.

“Jika kita dapat bersama-sama memulai langkah konkrit seperti itu, kami yakin perbedaan agama akan menjadi pengikat dan bukan pemisah. Energi umat akan sangat produktif bagi semua komunitas agama, daripada melihat perbedaan antar agama, atau lebih jauh membandingkannya, yang justru dapat mengundang konflik, demikian tegasnya,” kata Kamaruddin.

Untuk mewujudkannya, diperlukan kolaborasi antar negara, namun sebelum itu, kolaborasi antara pemerintah dan komunitas agama harus terjalin dengan baik. Pemerintah memberi ruang bagi peran aktif tokoh agama dalam inisiatif pembangunan. Kolaborasi ini dimungkinkan oleh penyelenggaraan acara semacam ini, yaitu Muslim-Buddha Summit 2025.