Dengan demikian, seharusnya penentuan pilihan model atas sifat keserentakan Pemilihan Umum itu menjadi domain pembentuk undang-undang.

Akan tetapi, sampai dengan saat ini belum terjadi perubahan atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengakomodir kaidah konstitusional itu.

Melalui putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menetapkan opsi varian yang sebelumnya telah diputus, yaitu mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan Presiden/Wakil Presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu lokal).

Sehingga, sebenarnya persoalan konstitusionalitas keserentakan Pemilu beserta model dan variannya telah menjadi “academic discourse” sejak tahun 2013 sampai 2019, dan pemerintah bersama DPR telah bergerak ke arah perubahan UU Pemilu itu sendiri.

Fahri Bachmid menilai bahwa salah satu implikasi konstitusional serta teknis atas putusan MK ini yang harus dicermati oleh pembentuk UU adalah bangunan desain rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD, termasuk masa jabatan kepala daerah sesuai kaidah “formulation of the norm” transisional.

Pengaturan rezim atau pelembagaan pranata transisi/peralihan ihwal jabatan kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan serentak pada tanggal 27 November 2024, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemilihan umum pada tanggal 14 Februari 2024.

Artinya, dengan konstruksi waktu serta periode yang telah ditentukan, maka ada konsekuensi yuridis dengan diperlukannya tindakan perpanjangan masa jabatan untuk anggota DPRD hasil Pemilu 2024, yang seharusnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2029, dapat diperpanjang dua (2) tahun menjadi tahun 2031.

“Kelihatannya, perumusan kebijakan perpanjangan untuk anggota DPRD merupakan sebuah “legal policy” yang “related” serta “reliable“. Sedangkan untuk kepala daerah, saya berpendapat pembentuk UU dapat saja menentukan lain dalam rumusan “legal policy“, yaitu boleh dengan instrumen Penjabat Kepala Daerah (Pj), atau boleh juga dengan melakukan perpanjangan. Sebab penentuan model mana yang tepat secara konstitusional merupakan “open legal policy” yang tentunya menjadi domain serta kewenangan pembentuk UU dalam merumuskan “constitutional engineering.” Tutup Fahri Bachmid.

YouTube player