Ironisnya, realitas pembangunan ekonomi kita hari ini sangatlah jauh dari apa yang dicita-citakan Bung Hatta. Saat ini, negara menganut sistem ekonomi neoliberal; cabang-cabang produksi dikuasai oleh segelintir orang, “Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh segelintir orang di Indonesia.” Konsentrasi modal pada segelintir orang, bukanlah moralitas koperasi. Didikan koperasi harus banyak berdasar kepada humanisme dan pengertian tentang gotong-royong.

Meskipun saat ini, pemerintah Indonesia mencanangkan program Koperasi Merah Putih, tetapi bagi Ery ini bukanlah koperasi. Skema Top-Down dalam program ini amatlah jauh dari pondasi koperasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bung Hatta, “Pemerintah boleh merencanakan dan mengatur, akan tetapi apabila peraturan itu tidak berbunyi dalam keinsafan rakyat, peraturan itu tidak akan hidup dalam masyarakat.”

Mengambil alih sesi, Satriawan mengungkapkan, Bung Hatta menolak sistem liberal yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia menekankan pentingnya ekonomi yang diatur, dan dalam konteks itu koperasi menjadi pilar yang mampu menyusun kembali kekuatan rakyat secara terorganisir dan bermoral. “Koperasi adalah alat rakyat untuk menyusun kekuatan sendiri,” tegas Satriawan.

Pemantik yang akrab disapa Wawan ini menampik anggapan bahwa koperasi tidak memiliki best practice di Indonesia. Baginya, Koperasi yang sesungguhnya, telah diprakarsai oleh Bung Hatta di masa hidupnya. Wawan menyampaikan, dalam lima tahun sejak dimulainya Hari Koperasi pada 1951, gerakan tabungan rakyat mengalami lonjakan signifikan. Anggota dan koperasi bertambah pesat, menunjukkan kesadaran masyarakat untuk menabung dan berorganisasi. Hasil ini dicapai meski modal awal hampir tidak ada, membuktikan bahwa gotong royong melalui koperasi efektif membangun kekuatan ekonomi rakyat.

Dalam lima tahun pertama pula, gerakan koperasi Indonesia mencatat kemajuan pesat. Jumlah koperasi dan anggota meningkat tajam, begitu juga simpanan dan modal yang berhasil dihimpun. Terhitung dalam catatan Bung Hatta, total kapital koperasi hingga akhir 1956 mencapai kurang lebih 300 juta rupiah. Bung Hatta menegaskan bahwa keberhasilan ini lahir dari kesadaran dan kerja sama rakyat sendiri. Semangat solidaritas, tanggung jawab, dan kepercayaan diri menjadi pondasi utama perkembangan koperasi nasional.