Opini
Sabri (Wasekjen Jaringan Media Siber Indonesia/Tim Humas Sekretariat KKSS)

Sebagai anak muda yang merantau ke Jakarta, nama Sjafrie Sjamsoeddin bukan sekadar tokoh militer atau pejabat negara. Ia adalah simbol keteguhan, kerja keras, dan komitmen seorang perantau yang menapak jalan panjang dengan disiplin dan prinsip. Dalam sosoknya, generasi muda Bugis-Makassar menemukan gambaran nyata tentang bagaimana nilai-nilai leluhur bisa hidup di tengah kerasnya persaingan ibu kota.

Kisah hidup Sjafrie tidak hanya diwarnai oleh jabatan dan prestasi, tetapi juga oleh perjalanan batin seorang anak bangsa yang menjunjung tinggi falsafah “Reso temmangingi, namalomo naletei pammase dewata” — usaha yang tak kenal menyerah akan mengundang berkah dari Tuhan. Falsafah inilah yang menjadi darah bagi setiap perantau Bugis-Makassar tekun, disiplin, dan pantang mundur.

Cerita tentang Sjafrie Sjamsoeddin saat mengawal Presiden Soeharto dalam misi kemanusiaan di Bosnia bukan hanya tentang keberanian fisik seorang prajurit. Lebih dari itu, ia memperlihatkan bagaimana nilai “siri’ na pacce” (harga diri dan empati) menjadi kompas moral dalam setiap tindakan. Ia tidak hanya bertugas, tetapi berbakti. Ia tidak hanya melindungi, tetapi juga menjaga martabat bangsa.

Bagi generasi muda perantau di Jakarta, kisah itu menjadi refleksi bahwa keberanian bukan sekadar soal tampil gagah di depan bahaya, tetapi tentang menjaga komitmen pada tugas, kepercayaan, dan nilai kemanusiaan hal yang diajarkan oleh leluhur Bugis-Makassar sejak dahulu.

Menapak jejak Sjafrie Sjamsoeddin berarti belajar bahwa kesuksesan tidak datang dari keberuntungan, melainkan dari ketekunan yang berakar pada nilai. Dalam dunia modern yang sering menyanjung kecepatan dan hasil instan, kisah perantau seperti Sjafrie menjadi pengingat bahwa karakter, dedikasi, dan loyalitas adalah fondasi sejati dari keberhasilan.