RAKYAT NEWS, JAKARTA – Lembaga non partisan yang memperjuangkan hak hak kemanusiaan, Amnesty International Indonesia mendesak dilakukannya investigasi independen dan transparan atas kematian Prada TNI AD Lucky Chepril Saputra Namo, yang diduga disiksa secara brutal oleh sejumlah seniornya di Nusa Tenggara Timur.

Prada Lucky, yang baru dua bulan bertugas di Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere, Nagekeo, meninggal pada 6 Agustus 2025 setelah empat hari dirawat intensif di RSUD Aeramo. Keluarga menyebut ia mengalami kekerasan sejak akhir Juli, namun pihak batalyon tidak pernah memberitahukan kondisi kritisnya.

“Kejadian ini menyingkap wajah kelam budaya kekerasan di tubuh TNI,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Ironisnya, penyiksaan terjadi di batalyon yang baru diresmikan Presiden.” tambah Usman

Pangdam IX/Udayana Mayjen Piek Budyakto telah mengumumkan 20 tersangka, termasuk seorang perwira, namun tidak membeberkan identitas mereka. Amnesty menilai kasus ini harus diusut oleh lembaga sipil di luar TNI, terutama untuk memastikan adanya pertanggungjawaban komando di tingkat pimpinan batalyon. Menghindari jeruk makan jeruk.

Amnesty juga menuntut para pelaku diadili di peradilan umum. Menurut Usman, vonis ringan kerap terjadi di peradilan militer akibat pengaruh kepangkatan, kultur kekerasan yang mengakar, dan kepentingan elite. Ia mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer No. 31/1997 agar pelanggaran pidana umum oleh personel militer diproses di peradilan umum, sesuai amanat UU TNI No. 34/2004.

Keluarga korban mengaku mengalami intimidasi. Kakak Lucky menyebut ada pihak yang meminta ponsel korban dan mencoba memengaruhi ayahnya — seorang sersan mayor aktif di TNI AD — agar tidak melanjutkan kasus ini.

Amnesty mengecam keras dugaan upaya pembungkaman ini dan menuntut keluarga diberi akses penuh atas informasi penyebab kematian Lucky.