Aparat di Pihak Perusahaan, Petani Polongbangkeng Bersatu Tuntut Keadilan
RAKYAT.NEWS, MAKASSAR– Dari konferensi pers di LBH Makassar, Selasa 26 Agustus 2025, petani Polongbangkeng dan jaringan organisasi sipil menyampaikan fakta pahit: negara melalui aparatnya lebih memilih menjadi tameng PTPN ketimbang melindungi rakyat. Selasa 26 Agustus 2025
Ijul dari AGRA Sulsel mengingatkan, akar konflik ini sudah ada sejak 1980-an. PTPN masuk tanpa persetujuan petani, beroperasi bahkan sebelum memiliki HGU. HGU baru terbit 1994, penuh cacat, dan resmi berakhir Juli 2024. “Awalnya masyarakat masih bersabar, membiarkan panen terakhir dengan syarat tanah dikembalikan. Tapi faktanya, perusahaan tetap beroperasi. Polres Takalar bukannya menghentikan, malah ikut mengawal,” ujarnya.
Pendi dari WALHI Sulsel menambahkan, perampasan tanah ini berdampak ekologis serius. Monokultur tebu merusak kesuburan tanah, menghilangkan keragaman hayati, mengganggu siklus air, hingga menghasilkan polusi udara. “Kerusakan lingkungan di Polongbangkeng adalah pelanggaran HAM. Negara gagal memenuhi hak dasar warga atas tanah, pangan, dan lingkungan hidup yang sehat,” tegasnya.
Hasbi dari LBH Makassar–YLBHI menegaskan, tanggung jawab ada pada negara, dari Kapolres Takalar hingga Menteri BUMN. “Negara lebih memilih menjadi perisai perusahaan. Aparat kepolisian yang seharusnya netral berubah menjadi alat represif, melindungi PTPN yang sudah tidak memiliki dasar hukum,” ujarnya.
Dalam konferensi pers ini, petani bersama GRAMT mengajukan enam tuntutan: tarik aparat dari desa, hentikan aktivitas ilegal PTPN, kembalikan tanah rakyat, lakukan investigasi Komnas HAM, Bupati Takalar ambil tanggung jawab, dan libatkan petani dalam penyelesaian konflik.
Dwiki Luckianto Septiawan

Tinggalkan Balasan